Kemerosotan Harga Jadi Tantangan Peternak Muda

Ada dua faktor yang menjadi kendala bagi para pengusaha ternak ayam petelur, yakni kondisi pandemi Covid-19 dan “kenakalan” pedagang telur yang menjual telur branding di pasaran.
Davin Muhammad Arsyad mengumpulkan kotoran ayam yang sudah kering untuk dijual ke petani.

REPORTER: Mutabingun | EDITOR: Dwi Roma | TEMANGGUNG | obyektif.id  

LONJAKAN harga pakan ternak yang tidak sebanding dengan harga jual telur di pasaran yang terus merosot, membuat sejumlah peternak ayam petelur di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah harus memutar otak agar bisa tetap bertahan.

Davin Muhammad Arsyad, peternak ayam petelur di Dusun Wonosari, Desa Tlogopucang , Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung mengungkapkan, harga telur yang semula mencapai Rp 20.000 per kilogram, kini anjlok menjadi hanya berkisar antara Rp 16.000-Rp 17.000 per kilogram.

Sekitar 380 ekor ayam petelur di kandang ternak milik Davin Muhammad Arsyad.

“Beberapa bulan ini harga telur menurun drastis, sedangkan harga pakan melambumg tinggi. Sejak adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), harga jagung yang merupakan makanan pokok ayam petelur mencapai Rp 6.000 per kilogram,” beber Davin, Ahad (12/9/2021).

Peternak muda lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang yang dulu sempat bekerja di sebuah perusahaan di Kota Semarang ini mulai menjalankan usahanya sejak pertengahan 2020 lalu, lantaran ingin membangun usaha di kampung tercintanya.

Irfan Cahyono, peternak ayam petelur Desa Kemloko, Kecamatan Kranggan.

Sebelumnya, Davin pernah meraup untung cukup tinggi dari usaha ternak ayam petelur ini.

“Saya rasa, bekerja di kota dan di desa hasilnya sama saja. Semua tergantung pada niatnya,” ujarnya.

Senada, Irfan Cahyono, peternak ayam petelur di Desa Kemloko, Kecamatan Kranggan menyebutkan bahwa pengusaha ternak ayam petelur, khususnya di Kabupaten Temanggung banyak yang mengeluh.

Menurut Irfan, ada dua faktor yang menjadi kendala bagi para pengusaha ternak ayam petelur, yakni kondisi pandemi Covid-19 dan “kenakalan” pedagang telur yang menjual telur branding di pasaran.

Mahasiswa semester VIII Institut Islam Nahdlatul Ulama (Inisnu) Temanggung ini menjelaskan, telur branding adalah telur pabrikan yang seharusnya ditetaskan, namun dijual di pasaran dengan harga yang sangat murah.

“Ini menjadi tantangan tersendiri bagi para peternak ayam telur dan pemerintah setempat. Sebab, selain merugikan para peternak, telur branding ini juga kurang baik untuk dikonsumsi, karena sudah mengandung embrio (bakalan anak ayam) di dalamnya,” bebernya.

Tak hanya itu, Irfan menambahkan, fluktuasi harga di masa pandemi seperti ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi para peternak ayam petelur.

“Saya berharap ada perhatian dari pemerintah, khususnya dari Dinas Peindustrian dan Perdagangan (Disperindag), agar harga telur di pasaran tetap stabil, sehingga geliat masyarakat dalam usaha ternak ayam petelur ini menjadi sebuah UMKM yang memadai bagi pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *