Dedek Wiradi adalah seorang pemuisi muda asal Padang, Sumatera Barat yang berjuluk Pujangga Asmaraloka. Seperti apa puisi-puisi karya sang aktivis mahasiswa ini?
![](https://obyektif.id/wp-content/uploads/2023/12/Puisi-Dedek-Wiradi-01-1.jpg)
REPORTER/EDITOR: Dwi NR | PADANG | obyektif.id
AKRAB disapa Wira, Dedek Wiradi adalah seorang aktivis mahasiswa dan penulis puisi yang mendapat julukan “Pujangga Asmaraloka” Saat ini dia sedang menempuh Pendidikan S1 Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia dan menjabat Gubernur Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Padang (UNP).
Sebagai penggiat sastra, pemuda kelahiran Labuhan Batu, Sumatera Utara, 11 Februari 2002 ini telah menulis beberapa buku, berjudul Serenada Asmaraloka, Reflika Kanvas Rasa, Tentang Hujan, dan Meraki Aksara Buana.
Berikut beberapa puisi tentang kematian, yang sarat makna dari sastrawan muda asal Padang, Sumatera Barat ini.
![](https://obyektif.id/wp-content/uploads/2023/12/856c095d-9cec-47d2-bbeb-844559ac3ad6.jpg)
Tangisan Bulan
Sejak lima tahun yang lalu
Ia tak menangis, namun matanya legam dihujam kesengsaraan.
Ia tak bahagia, karena alur realita yang menggebuk jiwanya
Terjadi sengketa pemboyong malapetaka, ia hadir dalam bisik-bisik, luka membiru.
Hujan di atas makam bulan durjana,
Warna merah padam, suram
Beribu bala jingkrak-jingkrak
Menabung isak; menyerbu atma, luka-luka
Mereka berlarian ke sudut-sudut rumah
Menggerogoti daksa nan kian hasai, kacau balau
Lalu kini bulan terbelah di atas bumi yang penuh darah
Nyawa-nyawa beterbangan
Di permukaan makam bertabur tangisan
Medan, 1 Januari 2022
Sajak Realita Duka
Di sudut bentala nan iba; di sebuah persembunyian nan usang
Sebelum bercak-bercak kau cecah, sebelum jejak-jejak kau tinggal;
Ia adalah titik kelam yang selalu mencari keberadaan.
Di tepi ruang sunyi, di awang semesta yang riuh, dan sebuah jendela yang kehilangan kawan bercengkrama; ia adalah sepasang semu bertemankan luka, liku, candu.
Betapa pucat muka-muka puisi yang dihempas sunyi
Atas nama asmaraloka lara, langit berjelaga di palung matanya.
Padang, 17 Maret 2022
![](https://obyektif.id/wp-content/uploads/2023/12/1a27178f-06e7-464a-8bcd-a67bea687db0.jpg)
Perihal Malam Kelam
Aku berbaring menumbangkan seluruh atma, seluruh daksa, seluruh luka-luka;
Di atas makam bulan durjana
Muka penuh darah, penuh sumpah serapah dari durhakanya semesta.
Malam itu sunyi menghampiriku:
Kami berbincang-bincang, saling bertatapan.
Ia datang membawa sebuah kenang yang masih hidup; berlari-lari dalam naluri, berdansa di atas imajinasi
bertemankan mantra puisi penuh elegi.
Dialog malam kelam masih berkelanjutan
Kelam menyuguhkan seonggok ilusi; sepotong janji-janji yang mati, segumpal asa pucat pasi.
Kunikmati semua itu, kulahap habis tak tersisa, aku terlena
; aku binasa.
Padang, 21 April 2022
Di Pelataran Sendu
Mendung kehampaan kerap menyibak jiwa yang kering kebahagiaan. Perihal luka yang semakin menganga di tepi sungai duka, dan di garis pipi tergenang air rindu yang kehilangan hadir.
Aroma hujan acap kali kusedu di ruangan kecil. Tempatku menanak puisi—kusuguhkan di sela tahlil paling khusuk. Meski kadang aku kalah oleh sendu.
Saban malam aku terjaga, ditenggelamkan kesedihan yang liar. Lalu shubuh, hujan kembali jatuh menjelma doa-doa paling tabah; menjelma rindu yang mengharap rengkuh.
Di tengah riuhnya badai semesta, kukatakan pada langit yang mengusung suram:
“aku tak membenci kepergian, namun aku mengutuk sepi di sisa hidup yang tak menginginkan kehilangan”.
Padang, 12 November 2022
![](https://obyektif.id/wp-content/uploads/2023/12/2df83f64-8166-4c65-80c3-b001dfc4687f.jpg)
Rindu Setelah Kepergian Mu
empat bulan kepergianmu menyisakan biru yang tak akan putih di dadaku
saban hari ketika mataku mencoba melipat malam, ia terjaga di sepanjang baris kisah yang hilang
tentang kenang yang malang
tentang harap yang pincang
tentang sungai pipi yang selalu menggenang
aku merindukanmu
anantara alam yang memisahkan ruas-ruas jari
anantara doa yang berlari-lari,
tergopoh-gopoh mengejarmu dan puisiku tak membiarkanmu sendiri
aku merindukanmu
di sela cahaya yang kau tanam di mataku
di balik harap yang kau jahit di tapak kakiku
kekhawatiranmu perihal langkahku tanpamu
kau pasihkan masa depan di sukmaku
kau sulam cita-cita di aortaku
bahwasanya akan indah meski kini tampak semu
“tiada nestapa sedalam duka kepergianmu, pa. aku mengenangmu, selamanya”
Padang, 11 Januari 2023.***