Sarat Makna, 5 Puisi Dedek Wiradi tentang Kematian

Dedek Wiradi adalah seorang pemuisi muda asal Padang, Sumatera Barat yang berjuluk Pujangga Asmaraloka. Seperti apa puisi-puisi karya sang aktivis mahasiswa ini?
Aksi Dedek Wiradi di pementasan drama di Teater Mursal Esten, FBS UNP.

REPORTER/EDITOR: Dwi NR | PADANG | obyektif.id

AKRAB disapa Wira, Dedek Wiradi adalah seorang aktivis mahasiswa dan penulis puisi yang mendapat julukan “Pujangga Asmaraloka”  Saat ini dia sedang menempuh Pendidikan S1 Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia dan menjabat Gubernur Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Padang (UNP).

Sebagai penggiat sastra, pemuda kelahiran Labuhan Batu, Sumatera Utara, 11 Februari 2002 ini telah menulis beberapa buku, berjudul Serenada Asmaraloka,  Reflika Kanvas Rasa, Tentang Hujan, dan Meraki Aksara Buana.

Berikut beberapa puisi tentang kematian, yang sarat makna dari sastrawan muda asal Padang, Sumatera Barat ini.

“Meraki Aksara Buana”, salah satu buku kumpulan puisi karya Dedek Wiradi.

Tangisan Bulan

Sejak lima tahun yang lalu

Ia tak menangis, namun matanya legam dihujam kesengsaraan.

Ia tak bahagia, karena alur realita yang menggebuk jiwanya

Terjadi sengketa pemboyong malapetaka, ia hadir dalam bisik-bisik, luka membiru.

Hujan di atas makam bulan durjana,

Warna merah padam, suram

Beribu bala jingkrak-jingkrak

Menabung isak; menyerbu atma, luka-luka

Mereka berlarian ke sudut-sudut rumah

Menggerogoti daksa nan kian hasai, kacau balau

Lalu kini bulan terbelah di atas bumi yang penuh darah

Nyawa-nyawa beterbangan

Di permukaan makam bertabur tangisan

Medan, 1 Januari 2022

Sajak Realita Duka

Di sudut bentala nan iba; di sebuah persembunyian nan usang

Sebelum bercak-bercak kau cecah, sebelum jejak-jejak kau tinggal;

Ia adalah titik kelam yang selalu mencari keberadaan.

Di tepi ruang sunyi, di awang semesta yang riuh, dan sebuah jendela yang kehilangan kawan bercengkrama; ia adalah sepasang semu bertemankan luka, liku, candu.

Betapa pucat muka-muka puisi yang dihempas sunyi

Atas nama asmaraloka lara, langit berjelaga di palung matanya.

Padang, 17 Maret 2022

Penyerahan buku “Meraki Aksara Buana” dari Dedek Wiradi kepada Dekan Fakultas Bahasa dan Seni UNP Prof Dr Ermanto MPd.

Perihal Malam Kelam

Aku berbaring menumbangkan seluruh atma, seluruh daksa, seluruh luka-luka;

Di atas makam bulan durjana

Muka penuh darah, penuh sumpah serapah dari durhakanya semesta.

Malam itu sunyi menghampiriku:

Kami berbincang-bincang, saling bertatapan.

Ia datang membawa sebuah kenang yang masih hidup; berlari-lari dalam naluri, berdansa di atas imajinasi

bertemankan mantra puisi penuh elegi.

Dialog malam kelam masih berkelanjutan

Kelam menyuguhkan seonggok ilusi; sepotong janji-janji yang mati, segumpal asa pucat pasi.

Kunikmati semua itu, kulahap habis tak tersisa, aku terlena

; aku binasa.

Padang, 21 April 2022

Di Pelataran Sendu

Mendung kehampaan kerap menyibak jiwa yang kering kebahagiaan. Perihal luka yang semakin menganga di tepi sungai duka, dan di garis pipi tergenang air rindu yang kehilangan hadir.

Aroma hujan acap kali kusedu di ruangan kecil. Tempatku menanak puisi—kusuguhkan di sela tahlil paling khusuk. Meski kadang aku kalah oleh sendu.

Saban malam aku terjaga, ditenggelamkan kesedihan yang liar. Lalu shubuh, hujan kembali jatuh menjelma doa-doa paling tabah; menjelma rindu yang mengharap rengkuh.

Di tengah riuhnya badai semesta, kukatakan pada langit yang mengusung suram:

“aku tak membenci kepergian, namun aku mengutuk sepi di sisa hidup yang tak menginginkan kehilangan”.

Padang, 12 November 2022

Dedek Wiradi menyerahkan sertifikat dalam salah satu kegiatan di kampus.

Rindu Setelah Kepergian Mu

empat bulan kepergianmu menyisakan biru yang tak akan putih di dadaku

saban hari ketika mataku mencoba melipat malam, ia terjaga di sepanjang baris kisah yang hilang

tentang kenang yang malang

tentang harap yang pincang

tentang sungai pipi yang selalu menggenang

aku merindukanmu

anantara alam yang memisahkan ruas-ruas jari

anantara doa yang berlari-lari,

tergopoh-gopoh mengejarmu dan puisiku tak membiarkanmu sendiri

aku merindukanmu

di sela cahaya yang kau tanam di mataku

di balik harap yang kau jahit di tapak kakiku

kekhawatiranmu perihal langkahku tanpamu

kau pasihkan masa depan di sukmaku

kau sulam cita-cita di aortaku

bahwasanya akan indah meski kini tampak semu

“tiada nestapa sedalam duka kepergianmu, pa. aku mengenangmu, selamanya”

Padang, 11 Januari 2023.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *