Fraksi PKB Tolak SE Dinas Pendidikan, Minta SK Penetapan Sekolah Lima Hari Dicabut

Dua surat Dinas Pendidikan Kota Semarang tersebut memakai dasar hukum yang keliru alias cacat hukum, yaitu berdasar Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 yang telah dibatalkan oleh Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Ketua Fraksi PKB DPRD Kota Semarang H Sodri menyerahkan map berkop PKB berisi surat penolakan SE Dinas Pendidikan Kota Semarang kepada Plt Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang Kartika Hedi Aji, didampingi para peserta Rapat Dengar Pendapat (RDP).

REPORTER/EDITOR: Dwi Roma | SEMARANG | obyektif.id

FRAKSI Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPRD Kota Semarang menyatakan menolak Surat Edaran (SE) Dinas Pendidikan Kota Semarang Nomor B/7284/061.2/VI/2022 tertanggal 30 Juni 2022 dan meminta Surat Keputusan (SK) Nomor B/1-14816/420/XII/2022 tertanggal 14 Januari 2022 tentang Penetapan Program Pendidikan Karakter Pelaksanaan Pembelajaran Lima Hari dicabut.

Ketua Fraksi PKB DPRD Kota Semarang H Sodri menyatakan, SE dan SK tersebut telah membawa dampak para siswa sekolah di Kota Semarang tidak bisa mengikuti pendidikan agama di Madrasah Diniyah (Madin) maupun Taman Pendidikan Alquran (TPQ) karena jam sekolah mereka hingga sore hari.

Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Semarang Muhammad Ahsan menyatakan berterima kasih atas perhatian dan masukan serta koreksi dari para peserta Rapat Dengar Pendapat (RDP).

Penolakan resmi Fraksi PKB melalui surat disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di kantor Dinas Pendidikan Kota Semarang, Selasa (19/7/2022). RDP diikuti Pengurus Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) Kota Semarang, Badan Koordinasi Lembaga Pendidikan Alquran (Badko LPQ) Kota Semarang, Rabithah Maahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU) Kota Semarang, dan Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Kota Semarang.

Hadir dalam acara tersebut, seluruh anggota Fraksi PKB DPRD Kota Semarang, para pejabat Dinas Pendidikan Kota Semarang, dan para wartawan.

Para ustaz atau pendidik keagamaan serius mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) seputar penolakan Surat Edaran (SE) dan Surat Keputusan (SK) Dinas Pendidikan Kota Semarang tentang Sekolah Lima Hari.

“Kami telah menerima aspirasi dan mendapat bukti bahwa anak-anak sekolah banyak yang tidak bisa mengaji karena sistem sekolah lima hari. Maka SK dan SE dari Dinas Pendidikan tersebut harus dicabut,” tutur Sodri didampingi anggota Fraksi PKB, HM Rohaini, Gumilang Febriyansyah, dan Juan Rama.

Sodri menambahkan, dua surat Dinas Pendidikan tersebut memakai dasar hukum yang keliru alias cacat hukum, yaitu berdasar Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2017.

Suasana Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang membahas seputar penolakan Surat Edaran (SE) dan Surat Keputusan (SK) Dinas Pendidikan Kota Semarang tentang Sekolah Lima Hari.

Padahal, beber Sodri, Permendikbud tersebut telah dibatalkan oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).

“SK dan SE Dinas Pendidikan tidak memakai Perpres, malah menggunakan Permendikbud yang telah dibatalkan oleh Peraturan Presiden,” ungkap Sodri.

Ketua Fraksi PKB DPRD Kota Semarang H Sodri memberikan keterangan kepada wartawan usai Rapat Dengar Pendapat (RDP).

Dilanjutkan Wakil Ketua Fraksi PKB DPRD Kota Semarang HM Rohaini, Perpres 87/2017, khususnya Pasal 9 telah mengatur prioritas sekolah masuk enam hari. Jika menerapkan sistem sekolah lima hari diatur dalam ayat Pasal 9 ayat 3.

“Perpres 87/2017 ayat 9 menekankan sekolah enam hari. Ayat satu menyebut enam hari di awal, baru kalimat lanjutan atau lima hari. Untuk bisa memilih sistem lima hari sebagaimana ayat 1, ada banyak syarat yang diatur dalam ayat 3 yang berisi empat poin,” terang anggota Komisi D DPRD yang membidangi Pendidikan ini.

Disebutkan Rohaini, empat poin syarat boleh memilih sistem sekolah lima hari sepekan adalah; (a) kecukupan pendidik dan tenaga kependidikan, (b) ketersediaan sarana dan prasarana, (c) kearifan lokal, (d) pendapat tokoh masyarakat dan/atau tokoh agama di luar Komite Sekolah/Madrasah.

“Fakta di Kota Semarang, sekolah menyelenggarakan sistem lima hari seminggu, itu tidak memenuhi poin c dan d. Melainkan hanya meminta pendapat para wali murid atau komite sekolah. Itu tentu tidak sesuai Peraturan Presiden Nomor 87/2017,” papar Rohaini.

Ketua Badko LPQ Bahrul Fawaid dalam rapat tersebut menyampaikan, SE dan SK Dinas Pendidikan Kota Semarang telah membuat resah banyak siswa dan wali murid. Karena mayoritas SD di Kota Semarang telah dan hendak menerapkan sistem lima hari sekolah.

Bahkan menurutnya, surat tersebut telah mengorbankan para santri LPQ dan Madin kehilangan kesempatan mengaji.

“Surat Dinas Pendidikan itu mengatur jam kerja pegawai. Namun membawa dampak para siswa tidak bisa mengaji. Itu artinya, surat dari Dinas Pendidikan telah menghalangi atau mencabut hak anak belajar agama,” jelas Dosen Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang ini.

Pernyataan Fawaid didukung Ketua Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah Kota Semarang M Arib. Dia sampaikan, santri LPQ dan madin berkurang. Ada yang awalnya 200 santri, tinggal 70 santri.

“SE Dinas Pendidikan memang mengatur jam belajar siswa, baik yang sekolah lima hari atau enam hari. Namun kenyataannya, SD dan SMP memilih sistem lima hari. Dan telah ada SK Dinas Pendidikan yang mengatur lima hari sekolah. Inilah yang meresahkan,” tutur Arib didampingi Sekretaris Kharis dan Bendahara Achmad Izzuddin.

Perlu MoU

Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Semarang Muhammad Ahsan didampingi Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang Kartika Hedi Aji menyatakan berterima kasih atas perhatian dan masukan serta koreksi dari para peserta RDP. Pihaknya meminta maaf atas kekurangannya, sehingga menimbulkan reaksi di masyarakat.

Dia berjanji akan membuat surat baru yang sesuai aturan dan dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat, serta siap mengadakan kerja sama dengan para pihak terkait.

“Kami berterima kasih atas kehadiran bapak-bapak semua di sini. Terima kasih atas semua masukan dan koreksinya. Kami meminta maaf atas kekurangan kami dalam berkomunikasi dan berkoordinasi. Barangkali kurang teliti, juga mohon maaf. Akan kami revisi surat kami,” tutur Ahsan yang berprofesi sebagai guru agama dan mengenyam pendidikan keagamaan, yaitu Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) di level pendidikan dasarnya.

Ahsan menyatakan, pihaknya akan segera tindaklanjuti RDP tesebut dengan rapat bersama seluruh unsur terkait, dan akan membuat kerja sama resmi dengan lembaga pendidikan keagamaan dalam suatu bentuk nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU).***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *