Siapa Sebenarnya Pribumi Asli Indonesia?

SEJATINYA, semua sudah digambarkan sejak 50 ribu tahun silam. Betapa sebenarnya hampir tak ada satu pun dari kita saat ini yang merupakan “pribumi” sejak awal, kecuali campuran dan gennya telah berkembang.

MEMPERINGATI Dirgahayu Ke-73 Kemerdekaan Republik Indonesia, mari kita bahas sedikit mengenai sejarah Bangsa Indonesia. Bangsa kolonial meninggalkan banyak sekali hal dalam peradaban kita, Indonesia. Mulai dari bangunan dan benda-benda kuno, kurikulum, sampai warung Tegal yang bisa kamu jumpai di mana-mana. Selain itu ada satu peninggalan kolonial dalam bentuk pemahaman yang ternyata masih melekat di masyarakat Indonesia sampai sekarang, yaitu konsep “pribumi”.

Sungguh membuat banyak orang gerah ketika kata “pribumi” ini masih dipermasalahkan dan didebatkan, padahal Indonesia telah merdeka dari yang memberikan istilah tersebut. Celakanya, istilah ini menjadi senjata pemecah yang digunakan sesama saudara sebangsa sendiri yang harusnya saling kompak bersatu tanpa pandang atribut masing-masing.

Hal ini semakin diperparah dengan makin meluasnya literasi digital, tapi tidak diikuti “literasi” moral, empati, dan toleransi tentang makna “pribumi” tersebut. Kalau ditelaah secara bahasa, kata “pribumi” berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti penghuni asli yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Lalu siapakah pribumi Bangsa Indonesia yang sebenarnya? Berikut jawaban berdasarkan sejarah dan pernyataan para ahli.

Diskriminasi

Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan etnis.

Seperti apa pengertian pribumi oleh masyarakat awam Indonesia dan bagaimana penyikapan mereka terhadap itu? Secara sederhana, kaum pribumi atau orang asli Indonesia dalam pandangan masyarakat adalah suku seperti Jawa, Batak, Minangkabau, Bali, Dayak, Papua, dan masih banyak suku lainnya yang telah kita pelajari dari SD, termasuk di dalamnya ada baju adat, lagu daerah, dan atribut lainnya.

Sementara itu orang-orang keturunan Arab, Tionghoa, India yang cukup banyak ditemukan di Indonesia masih sering dianggap “asing” atau “pendatang”. Padahal mereka bukan sekadar lahir dan besar di Indonesia, melainkan juga memegang budaya dan menggunakan Bahasa Indonesia. Anggapan yang tampaknya sepele ini ternyata mampu menimbulkan diskriminasi dan kecemburuan sosial yang disangkutpautkan banyak hal, terutama politik.

Berdasarkan pernyataan Herawati Sudoyo, Deputi Bidang Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, pribumi adalah orang yang menghuni suatu kawasan sejak lama, sementara penduduk yang saat ini mendiami Indonesia berasal dari beberapa titik migrasi. Kita semua bersaudara dan tak ada darah yang murni.

Manusia modern baru masuk ke Tanah Air pada Era Pleistosen. Nah, manusia pendatang ini terbagi menjadi dua golongan, yaitu Melanesia dan Austronesia. Orang Melanesia datang sejak 50.000 tahun lalu. Melanesia mayoritas berasal dari Afrika dan biasanya bermata biru, menandakan bahwa sebenarnya hampir tak ada satu pun dari kita saat ini yang merupakan “pribumi” sejak awal, kecuali campuran dan gennya telah berkembang.

Migrasi kedua sekitar 16.000-35.000 tahun lalu dari Indocina masuk ke Nusantara lewat jalur darat. Setelah itu disusul orang Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu dari Formosa ke bagian barat dan timur Nusantara. Akhirnya mereka semua berkembang menjadi berbagai suku yang kita kenal saat ini.

Hindu-Buddha

Indonesia terdiri dari berbagai macam peradaban,

Pada abad III sampai sekitar 2.000 tahun lalu, masyarakat di Nusantara menjalin hubungan dengan India lewat perdagangan logam dan rempah-rempah. Dari sinilah kebudayaan India dalam Hindu-Buddha masuk ke Nusantara.

Setelah itu, Nusantara menjalin hubungan dengan Dinasti Tiongkok daerah selatan. Berdasarkan data dari Paguyuban Nasional Marga Tionghoa, tahun 907, I Ching, seorang Bhiksu Buddha berkelana lewat laut ke Nusantara dan India.

Menurut catatan I Ching, ketika dia ke sana sudah ditemukan koloni orang Tionghoa di Tuban, Gresik, Jepara, Lasem, dan Banten (menandakan telah ada orang Tionghoa sebelumnya).

Pada abad XV (Masa Dinasti Ming) sekitar tahun 1407, Nusantara kedatangan Laksamana Cheng Ho yang mendarat di Sambas dan Palembang, kemudian membangun peradaban Islam di tempat-tempatnya berkelana.

Laksamana Cheng Ho berlayar ke Indonesia dengan tujuan menjalin persahabatan, alih teknologi, perdagangan, dan penyebaran Islam. Di tahun 1474, dikenallah Wali Songo yang lima di antaranya merupakan campuran etnis Tionghoa melanjutkan penyebaran Islam di Nusantara.

Bangsa Arab pun secara perlahan datang menjalin kerjasama perdagangan. Ternyata hubungan antarbudaya ini menghasilkan banyak perkawinan silang. Orang-orang asing ini pun bisa jadi adalah generasi leluhur di atas kita yang tercampur darah dan gennya satu sama lain. Data terbaru menyatakan, gen masyarakat Indonesia saat ini adalah 74% Asia Tenggara dan Oseania, 9% Asia Selatan, 5% Asia Timur, 6% Arab, dan 6% Afrika.

Hidup Berdampingan

Peta persebaran rempah-rempah di Banda, Maluku.

Mulanya orang Nusantara dan “pendatang” hidup berdampingan dengan damai. Sayangnya, pemerintah Eropa mulai menggolongkan dan membedakan orang satu sama lain berdasarkan asal-usul etnisnya. Secara kasar, orang Eropa menempatkan diri sebagai golongan yang paling atas secara kehormatan dan kedudukan, disusul oleh orang-orang Timur seperti Arab, Tionghoa, dan India. Sementara orang-orang yang mereka sebut “pribumi” ditempatkan dalam posisi yang paling bawah.

Alhasil masyarakat Nusantara yang merupakan “campuran” turut menderita karena tidak jelas masuk golongan mana. Perpecahan ini dilahirkan bangsa kolonial untuk membuat kekuatan masyarakat Nusantara melemah. Walau bangsa kolonial menggoyahkan mereka dalam pelevelan, beberapa multigolongan dari mereka tetap bersatu untuk melakukan banyak perlawanan, meski gagal karena tak semuanya bersatu sebagai Nusantara seutuhnya dan masih termakan paham perbedaan yang ditanamkan bangsa kolonial.

Menjelang masa kemerdekaan, tokoh seperti Tjiptomangunkusumo, Amir Syarifudin, dan Soekarno memperjuangkan agar masyarakat Nusantara dan “golongan kedua” diperhitungkan sebagai orang Indonesia tanpa terkecuali. Dengan catatan, mereka sudah berbudaya, menetap, dan berbahasa Indonesia.

Menyedihkannya, konsep persatuan ini cuma bertahan sampai 1965, akibat di Orde Baru digolongkan lagi antara “pribumi” dan “nonpribumi”. Akibatnya, orang-orang yang berbudaya “campuran” sesuai etnisnya harus beradaptasi dalam level ekstrem, misalnya sampai perlu mengganti namanya.

Persebaan peta etnik dan suku di Indonesia.

Akhirnya dalam waktu 30 tahun, rezim Orde Baru berakhir. Konsep “pribumi” dan “nonpribumi” dihapuskan oleh Gus Dur karena itu adalah diskriminasi. Itu berlaku hingga saat ini. Jadi sekarang sudah tidak waktunya lagi meributkan soal asal-usul dan perbedaan satu sama lain.

Mengingat bahwa semua yang tinggal, berbudaya, dan berbahasa Indonesia adalah Warga Negara Indonesia (WNI), maka sudah tidak zamannya lagi kita mempermasalahkan “pribumi” dan “nonpribumi”, karena tak satu pun dari kita adalah penghuni asli atau darah murni sejak awal Nusantara ada.

Jadi, jangan lagi berpikiran kuno atau primitif seperti itu. Tanpa perlu mengadakan Sumpah Pemuda lagi, mari kita bersama berjuang mengharumkan nama Indonesia, tidak peduli siapa pun kita dan apa pun latar belakang kita. Hidup Indonesia!*** 2NR

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *