Fenomena Demokrasi Digital dan Politik Identitas dalam Satu Buku

Demokrasi digital yang memberikan kesetaraan bagi warga negara untuk mempunyai kebebasan berpendapat, terkadang dalam praktiknya mengalami ketimpangan dengan hadirnya para influencer kapitalisme dan buzzer kapitalisme.
Cover kegiatan diskusi dan Bedah Buku: Spektrum Kritik Nalar Komunikasi.

REPORTER/EDITOR: Anggraito | SEMARANG | obyektif.id

SEIRING berjalannya era perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga telah berkontribusi pada sistem demokrasi kita yang memunculkan fenomena baru yang sering disebut sebagai demokrasi digital. Demokrasi digital telah menjadi ruang krusial bagi negara yang memiliki latar belakangan budaya, suku, bahasa dan etnis yang berbeda-beda seperti Indonesia. Batas territorial tidak lagi terbatas dalam darat, laut, dan udara, namun batas itu hari ini memungkinkan bertambah dengan adanya entitas ruang baru yaitu Ruang Demokrasi Digital.

Hal ini dikupas tuntas dalam kegiatan diskusi dan bedah buku Spektrum Kritik Nalar Komunikasi yang mengangkat tema “Demokrasi Digital dan Politik Identitas”.

Kegiatan yang digelar secara daring melalui zoom meeting dan disiarkan langsung oleh channel YouTube NCB Indonesia oleh Badan Otonom Pendidikan dan Pelatihan DPP PA GMNI ini bertepatan dengan peringatan hari guru (25/11/2022).

Menghadirkan para akademisi yang merupakan penulis buku terkait meliputi Erik Ardiyanto, Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina; St. Tri Guntur Narawaya, Dosen Universitas Mercubuana Yogyakarta; Tri Adi Sumbogo, Dosen Universitas Bina Nusantara; Merlina Maria Barbara Apul, Dosen Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya; dan dimoderatori oleh Asvini, Anggota Banam Pendidikan dan Pelatihan DPP PA GMNI.

Serta diikuti kurang lebih 120 peserta dari berbagai kalangan, mulai dari anggota DPC, DPD, DPP, mahasiswa dan peserta umum lainnya.

Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina Erik Ardiyanto, dalam kritiknya mengatakan bahwa media sosial satu sisi dapat berfungsi sebagai ruang sosial berjalannya demokrasi, namun disisi lain juga mengandung ruang bisnis dengan akumulasi data. Ketika kita membuka media sosial sebenarnya kita sedang menyetor data ke Institusi Media sosial. Kemudian data yang melimpah ruah tersebut menjadi surplus behavior menjadi aset oil baru yang dijadikan mikro target iklan di media sosial.

“Seperti ketika kita memiliki preferensi tentang pakaian, tiba-tiba muncul iklan pakaian terkait di Instagram atau misal kita punya preferensi politik, tiba-tiba informasi terkait muncul di timeline kita,” kata Erik.

Mengutip dari sosiolog asal Austria Christian Fuchs, Erik menjelaskan ketika kita sedang bersosial media sebenarnya kita sedang jadi playbour atau play-labour yaitu kondisi dimana kita tanpa disadari telah menyetor data secara sukarela ke institusi media sosial.

Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina Erik Ardiyanto.

Demokrasi digital yang memberikan kesetaraan bagi warga negara untuk mempunyai kebebasan berpendapat, terkadang dalam praktiknya mengalami ketimpangan dengan hadirnya para influencer kapitalisme dan buzzer kapitalisme. Kelompok ini sering kali hadir di ruang publik dalam rangka komodifikasi konten demi kepentingan endorsemen dan kepentingan pendonoran.

“Merebaknya narasi politik identitas tidak lepas dari absennya narasi publik yang sifatnya bisa mengangkat isu-isu sentral dimasyarakat seperti isu-isu kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan upak layak. Ini hampir jarang kita temukan dalam konteks dinamika pemilu kemarin akibatnya  timbulnya polarisasi politik,” katanya.

Masih terkait Demokrasi Digital, Tri Adi Sumbogo, Dosen Universitas Bina Nusantara menuturkan saat ini kita dihadapkan  pada demokrasi digital, dimana audiens tidak lagi berperan sebagai  readers namun juga users, pengkonsumsi berita dan pembuat berita.

“Berita yang disiarkan pun berkembang, tidak hanya memarketingkan barang, namun juga gagasan, value, yang kemudian menimbulkan politik identitas,” ujarnya.

Sementara Merlina Maria Barbara Apul, Dosen Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya menceritakan bagaimana politik identitas mengakar erat di tanah kelahirannya Nusa Tenggara Timur. Bagaimana historical daerah telah menciptakan politik identitas itu sendiri.

“Media sebagai tempat berdemokrasi, turut serta dalam melanggengkan politik identitas, informasi dan sorotan terhadap kepekaan oleh kondisi kelompok rentan menjadi terkabut dan semakin termajinalkan,” kata Merlin.

Dipungkasi oleh Dosen Universitas Mercubuana Yogyakarta St. Tri Guntur Narawaya, dalam pemaparannya ia mengatakan bahwa politik itu sendiri tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang negatif, karena identitas itu sendiri adalah politik. Sejalan dengan pandangan Hannah Arendt, seorang filsuf politik kebangsaan Jerman, politik hanya bisa dibangun jika manusia saling berinterakasi baik berupa tindakan atau komunikasi.

“Politik itu sendiri bisa saja positif. Politik identitas yang negatif adalah ketika politik itu asimetri, tidak berkemanusiaan,” pungkasnya.

Berdasarkan pemaparan dan diskusi yang berlangsung tersebut, kembali mengangkat dan mengingatkan kita, bahwa menjadi tugas bersama bagi kita selaku bagian dari masyarakat untuk dapat aktif berkomunikasi dan mampu menciptakan suatu counter narasi yang tidak asimetri, sehingga demokrasi digital kembali pada ruhnya, dari, untuk, dan oleh masyarakat, yang saling menghormati, saling menghargai, dan saling berkemanusiaan.

Buku Spektrum Kritik Nalar Komunikasi.

Spektrum Kritik Nalar Komunikasi merupakan sebuah buku terbitan 2022 yang disusun oleh para praktisi dan akademisi yang mendedikasikan dirinya dalam bidang pengetahuan khususnya komunikasi.

Disusun oleh 12 penulis yang masing-masing mengontribusikan tulisannya dalam buku ini telah memberikan pandangan dan tawaran perspektif analisis yang beraneka ragam dan dapat memberikan isi pada kehampaan yang dilalui dalam beberapa kebutuhan kajian sosial di Indonesia, terkhusus ilmu komunikasi. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *