LBH Brantas tegas mendesak Pemdes Magelung untuk segera membayarkan uang ganti rugi senilai lebih Rp 2 miliar, yang sudah jelas menjadi hak 10 korban jalan tol tersebut.

REPORTER/EDITOR: Dwi Roma | KENDAL | obyektif.id
JERITAN nasib10 warga Dukuh Dampaan, Desa Magelung, Kecamatan Kaliwungu Selatan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah yang belum menerima uang untuk pembayaran ganti rugi tanah atau lahan mereka yang tergusur oleh proyek pembangunan Jalan Tol Semarang-Batang, terus berlanjut.

Meski berita seputar derita mereka menjadi viral, Pemerintah Desa (Pemdes) Magelung tetap tutup mata dan telinga. Sama sekali tak tergerak untuk mencari solusi atau menyelesaikan permasalahan yang berlarut-larut dan menyengsarakan 10 warga korban jalan tol yang merupakan bagian dari jaringan Tol Trans-Jawa tersebut.
Diberitakan sebelumnya, selama lebih lima tahun, uang ganti rugi senilai lebih dari Rp 2 miliar untuk pembayaran lahan mereka yang tergusur oleh proyek pembangunan jalan tol itu terus “digondheli” alias tak dibayarkan oleh Pemdes Magelung, dengan alasan tidak jelas.

Padahal, nama-nama mereka, lengkap dengan jumlah rupiah dan nomor rekening buku tabungan masing-masing, jelas tertera dalam data penerima ganti rugi yang resmi dirilis PT Bank Rakyat Indonesia (Bank BRI) Cabang Kabupaten Kendal, sejak 17 Juli 2017 silam.
LBH Brantas

Menyikapi derita 10 warga korban jalan tol yang tak juga mendapat perhatian dari Pemdes Magelung maupun dari para pengambil kebijakan, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Berani-Tuntas (Brantas) Kabupaten Kendal Sutiyono tergerak mendatangi dan mengumpulkan keterangan dari para korban, Selasa (15/11/2022).
Gayung bersambut. Para korban jalan tol itu pun langsung mengadukan nasib mereka yang selama bertahun-tahun terus digantung dan memberikan kuasa advokasi kepada LBH Brantas.

Bergerak cepat, Sutiyono juga langsung menyempatkan mengonfirmasi ke Pemdes Magelung, melalui ponsel Sekretaris Desa (Sekdes) Dadi Sarono.
“Intinya, kami LBH Brantas tegas mendesak Pemdes Magelung untuk segera membayarkan uang ganti rugi senilai lebih Rp 2 miliar, yang sudah jelas menjadi hak 10 korban jalan tol tersebut,” kata Sutiyono.

Sebab, menurut Sutiyono, nama-nama mereka beserta nomor rekening buku tabungan dan nominal masing-masing sudah tercantum dalam daftar korban jalan tol yang belum dibayarkan hak ganti ruginya.
Sejauh ini, banyak jalan berliku yang dilalui 10 warga korban jalan tol ini dalam memperjuangkan hak ganti rugi tanah yang tak kunjung mereka terima. Termasuk mendatangi Inspektorat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kendal, 22 Januari 2019 lalu.

Sejak itu, sudah berkali-kali pula 10 korban jalan tol ini menanyakan dan menagih hak mereka kepada Pemdes Magelung. Baik kepada Kepala Desa (Kades) Muhammad Edi maupun Sekdes Dadi Sarono, yang disebut-sebut para korban sebagai pihak yang selalu berbelit dan saling lempar tanggung jawab.
Tak hanya itu, para korban juga telah sekian kali mendatangi Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dispermasdes) dan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kendal, serta lembaga-lembaga terkait.

Terakhir, Senin (14/11/2022), empat orang perwakilan dari 10 korban jalan tol ini kembali mendatangi Kantor BPN Kabupaten Kendal, untuk mengadukan dan menanyakan kelanjutan nasib uang ganti rugi jalan tol yang terus “digondheli” dan diklaim sebagai milik Pemdes Magelung itu.
“Pihak BPN Kabupaten Kendal secara prinsip siap membantu para korban tol,” ujar Wasito (57), salah satu dari empat orang perwakilan korban tol.

Bahkan, Wasito mengungkapkan, BPN telah meminta kepada Pemdes Magelung untuk membuatkan surat keterangan yang menyatakan bahwa tanah tersebut milik warga 10 korban tol, dengan dilampiri surat obyek tanah bersangkutan.
Setelah surat keterangan itu diajukan dan mendapat pengesahan Bupati, maka secara yuridis uang ganti rugi korban tol bisa diserahkan kepada mereka yang berhak.

Tergusur SUTET
Permasalahan yang membelit 10 warga korban jalan tol ini bermula ketika tempat tinggal mereka tergusur oleh proyek Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) PLN, pada 1977 silam.

Mereka lantas disuruh pindah dan diberi ganti tanah yang ada di Dukuh Grogol, Magelung. Saat itu, pemerintah secara kebetulan mau membangun SD Negeri 2 Magelung di tanah milik desa.
Kemudian terjadi kesepakatan, tanah milik 10 warga di Dukuh Grogol tersebut untuk pembangunan SDN 2 Magelung, dan mereka ditempatkan di tanah milik desa yang belakangan tergusur proyek Jalan Tol Semarang-Batang ini.

Sudiyono (75), merupakan satu-satunya saksi hidup, karena lainnya sudah meninggal dunia. Tapi sayangnya, dia dan 9 warga korban jalan tol lain ini tidak punya berita acara atau surat tukar guling, yang jadi alasan pihak Pemdes Magelung “nggondheli” uang ganti rugi mereka.
Jika berita acara atau surat tukar guling sebagai salah satu syarat pencairan uang ganti rugi itu, para korban mempertanyakan, mengapa Pemdes Magelung tidak menyampaikan hal itu sedari awal dan membantu fasilitasi pembuatan surat tersebut.***