Secara terbuka, 10 korban Jalan Tol Semarang-Batang ini memohon kepada Camat Kaliwungu Selatan Krenggo Karjilah, Bupati Kendal Dico M Ganinduto, hingga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo segera turun tangan untuk penyelesaian kasus ini.

REPORTER/EDITOR: Dwi Roma | KENDAL | obyektif.id
KEHADIRAN Jalan Tol Semarang-Batang, yang merupakan bagian dari jaringan Tol Trans-Jawa masih menyisakan sederet cerita memilukan bagi 10 warga Dukuh Dampaan, Desa Magelung, Kecamatan Kaliwungu Selatan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
Selama lebih lima tahun, uang ganti rugi senilai lebih dari Rp 2 miliar untuk pembayaran lahan mereka yang tergusur oleh proyek pembangunan jalan tol itu terus “digondheli” alias tak dibayarkan oleh Pemerintah Desa (Pemdes) Magelung, dengan alasan tidak jelas.

Padahal, nama-nama mereka, lengkap dengan jumlah rupiah dan nomor rekening buku tabungan masing-masing, jelas tertera dalam data penerima ganti rugi yang resmi dirilis PT Bank Rakyat Indonesia (Bank BRI), sejak 17 Juli 2017 silam.
Sejauh ini, banyak jalan berliku yang dilalui 10 warga korban jalan tol ini dalam memperjuangkan hak ganti rugi lahan yang tak kunjung diterima, lantaran hanya uang bangunan yang mereka terima. Termasuk mendatangi Inspektorat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kendal, 22 Januari 2019 silam.
Kepala Inspektorat Pemkab Kendal Tatang Iskandaryanto, waktu itu menegaskan, uang ganti tanah sudah dibayar oleh PT Waskita Karya Tbk (Persero), tapi uangnya masuk kas desa.

Sejak itu, sudah berkali-kali pula 10 korban jalan tol ini menanyakan dan menagih hak mereka kepada Pemdes Magelung. Baik melalui Sekretaris Desa (Sekdes) Dadi Sarono maupun langsung kepada Kepala Desa (Kades) Muhammad Edi. Namun selalu tidak mendapatkan kepastian, kapan uang ganti rugi lahan mereka yang tergusur itu akan dibayarkan.
Bagi 10 warga korban jalan tol ini, Sekdes Magelung Dadi Sarono sebagai pihak yang dianggap paling tahu mengenai persoalan ini, cenderung berbelit dan tidak menaruh empati terhadap nasib mereka.
Sepanjang lebih lima tahun ini, setiap kali korban menagih hak mereka, Dadi Sarono selalu menyebut “masih dalam proses” dan hanya memberikan pepesan kosong.

Rohmah, 70 tahun, merupakan salah satu korban yang namanya masuk dalam data penerima ganti rugi yang belum terbayarkan. Nenek yang kini tinggal di Dukuh Dampaan, RT 04/RW 08 ini mengaku sudah habis-habisan memperjuangkan haknya. Tapi dia selalu menemui jalan buntu.
Rohmah menilai, pihak Pemdes Magelung cenderung lepas tangan dan melakukan pembiaran terhadap nasibnya bersama 9 warga yang lain.
“Pemdes kok kesannya ‘nggondheli’ atau keberatan menyerahkan uang ganti rugi lahan itu. Ada apa sebenarnya?” ujar Rohmah. “Sampai kapan pun hak uang ganti rugi itu akan saya kejar terus. Akan saya tagih terus,” tegasnya.

Nasib Suratman, 70 tahun dan Salmi, 69 tahun tak kalah pilu. Sejak rumah dan lahan mereka tergusur jalan tol dan kini tinggal di Dukuh Dampaan, RT 01/RW 08, kehidupan ekonomi rumah tangga pasangan suami-istri ini harus hidup dalam keterbatasan.
“Kami sekarang sama-sama tidak bekerja dan tak ada penghasilan. Buat makan saja susah. Sampai-sampai mau beli kutang (BH) aja nggak bisa. Pokoknya saya mau uang ganti rugi tol itu segera kami terima,” ungkap Salmi, blak-blakan.
“Pak Kades, Pak Sekdes, tolong pedulikan nasib kami. Para korban tol ini sudah pathing pringis (serba memprihatinkan),” cetus Suratman, di samping istrinya, Salmi.

Suratman dan Salmi sangat berharap uang ganti rugi lahan mereka yang tergusur jalan tol bisa segera diterima.
Terus Digantung
Sudiyono, 75 tahun, yang kini tinggal di Dukuh Dampaan,RT 02/RW 08, boleh jadi orang paling lelah dan geram di antara 10 warga korban jalan tol tersebut.

Selama ini, Sudiyono tidak hanya paling lantang dan garang berhadap-hadapan dengan para petinggi Pemdes Magelung, tapi juga sudah banyak kehilangan harta benda dalam memperjuangkan haknya yang terus digantung.
Menurut Sudiyono, permasalahan yang membelit 10 warga korban jalan tol ini bermula ketika tempat tinggal mereka tergusur oleh proyek Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) PLN, pada 1977 silam.
Mereka lantas disuruh pindah dan diberi ganti tanah yang ada di Dukuh Grogol, Magelung. Saat itu, pemerintah secara kebetulan mau membangun SD Negeri 2 Magelung di tanah milik desa.

Kemudian terjadi kesepakatan, tanah milik 10 warga di Dukuh Grogol tersebut untuk pembangunan SDN 2 Magelung, dan mereka ditempatkan di tanah milik desa yang belakangan tergusur proyek jalan tol ini.
Sudiyono merupakan satu-satunya saksi hidup, karena lainnya sudah meninggal dunia.
“Tapi sayangnya, saya dan 9 warga korban jalan tol lainnya tidak punya surat tukar guling, yang jadi alasan pihak Pemdes Magelung ‘nggondheli’ uang ganti rugi mereka,” bebernya.

Jika berita acara atau surat tukar guling sebagai salah satu syarat pencairan uang ganti rugi itu, Sudiyono mempertanyakan, mengapa Pemdes Magelung tidak menyampaikan hal itu sedari awal dan membantu fasilitasi pembuatan berita acara atau surat tersebut.
“Untuk pengurusan surat tukar guling itu, berapapun biayanya, kami manut. Asal uang ganti rugi jalan tol yang jadi hak kami itu bisa segera kami terima,” tandas Sudiyono.
Kini, Sudiyono tegas menagih uang ganti rugi atas lahannya seluas 250 meter persegi bisa segera diterima, untuk keberlangsungan hidupnya bersama sang istri yang sakit-sakitan.

Bahkan, secara terbuka, Sudiyono dan kawan-kawan memohon kepada Camat Kaliwungu Selatan Krenggo Karjilah, Bupati Kendal Dico M Ganinduto, hingga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo segera turun tangan untuk penyelesaian kasus ini.
Saling Menghindar
Kegeraman 10 warga korban tol tersebut cukup beralasan. Selama lebih lima tahun memperjuangkan uang hak ganti rugi atas lahan mereka yang tergusur, harus pula menghadapi sikap kurang bertanggung jawab dari jajaran Pemdes Magelung.

Kesepuluh korban itu terus di-pingpong dan nasib mereka pun terus digantung, hingga sekarang. Tanpa kejelasan. Tanpa kepastian.
Ketika obyektif.id berkali-kali berusaha mengonfirmasi ke Pemdes Magelung, Sekdes Dadi Sarono dan Kades Muhammad Edi juga justru saling lempar dan menghindar.
Bahkan, ketika obyektif.id menyambangi Balai Desa Magelung, Rabu (2/11/2022) pagi, sekira pukul 08.30, seorang karyawati di Bagian Pelayanan Umum, yang mengaku bernama Arum, tiba-tiba menyodorkan “amplop kecil” kepada obyektif.id yang tengah mengisi buku tamu, dan mengatakan bahwa Sekdes Dadi Sarono dan Kades Muhammad Edi sedang ada acara di luar.

Benar-benar aneh dan mencurigakan. Sebab, obyektif.id tiba di balai desa bersamaan dengan Kades Muhammad Edi turun dari mobilnya. Kemudian, orang nomor satu di Pemdes Magelung itu bercakap-cakap dengan sejumlah perangkatnya, termasuk Sekdes Dadi Sarono, di salah satu meja di ruang depan.
Atas nama profesionalitas, obyektif.id tidak menerima “amplop kecil” yang mengisyaratkan bentuk penolakan pihak Pemdes Magelung terhadap kehadiran media untuk kepentingan konfirmasi dan klarifikasi masalah uang ganti rugi 10 korban jalan tol senilai lebih dari Rp 2 miliar yang tak juga diserahkan ini.
Ada apa di balik sikap Pemdes Magelung yang terus “nggondheli” uang ganti rugi korban jalan tol itu?

“Sampeyan (obyektif.id) jangan ngejar-ngejar saya terus, dong. Intinya, kami tidak mau ngangel-angel (mempersulit) para korban jalan tol itu. Jika ada berita acara atau surat tukar gulingnya, hak mereka pasti kami berikan,” tukas Sekdes Dadi Sarono saat berhasil kami konfirmasi/wawancara melalui ponselnya yang kami rekam, Jumat (28/10/2022) siang.
Jaringan Tol Trans-Jawa
Untuk mengingatkan kembali, Jalan Tol Semarang-Batang merupakan bagian dari jaringan Tol Trans-Jawa yang menghubungkan Kabupaten Batang, Kendal, dan Kota Semarang.

Ruas tol ini terbentang 75 kilometer dan terbagi menjadi 5 seksi. Meliputi Seksi 1 Batang-Tulis sepanjang 3,2 kilometer, Seksi 2 Tulis-Weleri 36,4 kilometer.
Kemudian Seksi 3 Weleri-Kendal 11,05 kilometer, Seksi 4 Kendal-Kaliwungu 13,5 kilometer, dan Seksi 5 Kaliwungu-Krapyak 10,1 kilometer.
Jalan tol ini memiliki lima simpang susun (SS), antara lain SS Krapyak, SS Kaliwungu, SS Kendal, SS Weleri, dan SS Kandeman.

Tol Batang-Semarang sepenuhnya sudah beroperasi mulai dari Gerbang Tol (GT) Kandeman sampai dengan GT Kalikangkung sejak 21 Desember 2018. Namun mulai bertarif pada 21 Januari 2019.
Jalan Tol Batang-Semarang dibangun dengan struktur perkerasan beton atau rigid pavement dengan dua lajur untuk masing-masing arah.***