Basa Basuki mengatakan, 10 puisi yang dibacakannya bertema sama dengan sajak-sajak Chairil Anwar, yang situasi dan kondisinya di-update atau diperbarui, diselaraskan dengan era kekinian.

REPORTER/EDITOR: Dwi Roma | KENDAL | obyektif.id
TAJUK “Basa Basuki Membaca Chairil Anwar” gamblang menegaskan “dwi-tunggal” acara yang dihelat di Gedung Olahrahga (GOR) SMA Negeri 1 Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Sabtu (30/7/2022) malam: yaitu memperingati 100 tahun Chairil Anwar dengan “lakon” utama Basa Basuki, penyair asal Semarang yang tampil membacakan 10 puisi karyanya.
“Basa Basuki Membaca Chairil Anwar” digelar Rumah Sastra Kaliwungu bekerja sama dengan SMA Negeri 1 Kaliwungu.
Membuka aksi dengan sajak berjudul Masjid, Basa Basuki mengalirkan bahasa-bahasa sastra khasnya dengan tampilan bersahaja. Mengenakan kaos oblong putih berbalut jaket kulit hitam, sebagaimana kesehariannya.

Sebuah suguhan yang nyaris apa adanya. Sesederhana seting panggung bernuansa kelam, dengan tata lampu temaram atau kalau tidak mau dibilang lantaran beberapa lampu di GOR ini memang mati alias padam.
Tapi, Basa Basuki cukup percaya diri. Tampil hingga puisi terakhirnya berjudul Kursi, penyair jebolan Aktor Studio Semarang pimpinan Djawahir Muhammad ini memungkasi aksi dengan menebas dua plastik berisi air merah hingga muncrat.
Dua plastik berisi air merah sumba tersebut sengaja digantung bareng sebuah kursi di atas seting kuburan.

Usai pertunjukan dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan Shintya dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah dan Sawali Tuhusetya, sastrawan asal Kendal.
Dipantik moderator Slamet Priyatin, Basa Basuki mengatakan, 10 puisi yang dibacakannya bertema sama dengan sajak-sajak Chairil Anwar, yang situasi dan kondisinya di-update atau diperbarui, diselaraskan dengan era kekinian.
Judul-judul 10 puisinya adalah Masjid, Kau, Sabar, Mampus, Kamisan, Presidenku Jauh di Pulau, Kesepakatan dengan Habib Rizieq, Werkudoro, Yang Terampas dan yang Tertindas, dan Kursi.

Puisi-puisi tersebut merupakan hasil re-interpretasi atau penafsiran ulang dari 10 karya Chairil Anwar berjudul Mesjid, Aku, Kesabaran, Sia-sia, Hukum, Cintaku Jauh di Pulau, Persetujuan dengan Bung Karno, Diponegoro, Yang Terampas dan yang Putus, dan Nisan.
Shintya, pembicara dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah tak langsung menyasar karya dan aksi Basa Basuki.
Koordinator Kelompok Kepakaran dan Layanan Profesional (KKLP) Pelindungan dan Pemodernan Bahasa dan Sastra, Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah itu memilih memulai berbicara tentang sosok Chairil Anwar.

Menurutnya, Chairil Anwar adalah salah satu penyair hebat yang dimiliki bangsa Indonesia. Meskipun hanya lulusan pendidikan setingkat SMP, tapi mampu menguasai beberapa bahasa asing.
“Karya-karyanya sangat bagus, karena Chairil senang membaca. Sayang, dia mati muda,” ujarnya.
Selama ‘membaca’ dan menyimak penampilan Basa Basuki, Shintya justru punya sejumlah pertanyaan mengganjal, yang butuh penjelasan langsung dari sang penyair.

Pertanyaan-pertanyaan itu, di antaranya terkait proses pembuatan puisi-puisi Basa Basuki, yang dinilainya “hebat” lantaran hanya membutuhkan waktu singkat, antara April-Juli 2022. Juga mengenai kata “oligarki” yang banyak atau seringkali digunakan Basa Basuki di puisi-puisinya.
“Selebihnya, secara keseluruhan pertunjukan Basa Basuki bagus. Terutama saat membacakan Kursi itu, saya sampai merasa nyes… gimana gitu,” pujinya.
Pembicara lain, Sawali Tuhusetya berpendapat, secara tematik, muatan isi dalam puisi-puisi Basa Basuki dan Chairil Anwar sangat berbeda konteks zamannya.

“Puisi Basa Basuki lebih menukik pada konteks kekinian, sedangkan tema besar dalam teks Chairil Anwar sarat dengan kobaran semangat menjelang dan pasca-kemerdekaan,” ujarnya.
Dalam pandangan sastrawan yang juga guru di SMP Negeri 2 Pegandon ini, perbedaan konteks zaman tersebut tampaknya juga berefek pada stilistika atau ilmu gaya bahasa. Termasuk pada penggunaan diksi.
Dari sisi muatan isi, menurut Sawali, 10 puisi Basa Basuki lebih banyak mengangkat berbagai fenomena sosial dan politik yang kontekstual dengan dinamika sosial politik kekinian.
Demi menjawab pertanyaan-pertanyaan Shintya, selepas acara, Basa Basuki terus terang dan gamblang membeberkan sejumlah pernyataan.
Basa Basuki mengungkapkan, seting sengaja dibuat dengan kursi yang digantung di atas kuburan.
“Sebab, sampai mati pun kekuasaan akan tetap ada dan merajalela, sekalipun sudah ditebas hingga berdarah-darah,” tegasnya.
Mengenai penggunaan kata “oligarki” yang diamati Shintya sampai berkali-kali, dia lantas membandingkan dengan Chairil Anwar, yang juga banyak menggunakan kata “mati”, bahkan dalam hitungannya sampai sekira 45 kali.
“Oligarki itu juga untuk menggambarkan bahwa negara kita sebagai negara oligarkis,” tandasnya.
Perhelatan “Basa Basuki Membaca Chairil Anwar” juga dimeriahkan sejumlah penampilan penyair asal Kendal, di antaranya Sofyan, Any Faiqoh, Sriyatin, Arifian Sugito, dan siswa-siswi SMAN 1 Kaliwungu.
Kepala SMAN 1 Kaliwungu Siti Nurwiqowati berharap, peserta didiknya yang menonton bisa mengikuti jejak penyair untuk berkarya. Salah satunya dengan memperbanyak membaca.
Tampak hadir dan menyaksikan, Profesor Mudjahirin Thohir, guru besar Universitas Diponegoro (Undip) Semarang yang tidak lain merupakan dosen Basa Basuki semasa kuliah di Fakultas Sastra kampus negeri tersebut.***