Literasi merupakan media untuk berpengetahuan. Terpenting, membangun sikap adaptif dalam menyambut setiap perubahan zaman. Dalam istilah Jawa; ojo gumunan, ojo kagetan. Jangan gampang heran, jangan gampang terkejut.

REPORTER/EDITOR: Dwi Roma | KENDAL | obyektif.id
TIDAK ada perubahan yang lebih cepat ketimbang lesatan perubahan di era digital. Katalisasi literasi digital menjadi keniscayaan, untuk meminimalisasi kegagapan dalam menghadapi laju perkembangan zaman.
Pesan itu disampaikan Duta Bahasa Jawa Tengah Tiyo Ardianto di acara Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK) Halal bertajuk “Maosa.id: Katalisasi Sastra dan Literasi di Era Digital” di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Cholil, Gang Seroja, RT 03/RW 09, Desa Sarirejo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Senin (30/5/2022) malam.

Melalui maosa.id (dibaca: “maosa titik ide”, bukan “maosa dot aidi”), media ruang maya yang baru saja pra-rilis di Kendal ini, Tiyo Ardianto mengaku berupaya menjawab keresahan sekaligus tantangan Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah Ganjar Harimansyah, beberapa waktu lalu, terkait perlunya dilakukan inventarisasi masalah-masalah komunitas penggerak literasi dan solusinya.
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta asal Kudus ini mengungkapkan, terdapat tiga tantangan klise dalam gerakan literasi.

“Tantangan itu terkait keterbatasan jumlah, akses, dan mutu bahan bacaan yang berkualitas, keterbatasan fasilitas pendukung literasi di ruang publik, serta kurangnya sinergisme dalam jejaring komunitas penggerak literasi,” beber Tiyo.
Narasumber lain, Ali Romdhoni menyebut literasi adalah pengetahuan itu sendiri, dengan dimulai dari membaca, menulis, dan menginformasikan. Menurut Ketua Umum Yayasan Sunan Prawoto Pati, Jawa Tengah ini, literasi merupakan media untuk berpengetahuan.

Penulis sejumlah buku, salah satunya berjudul Al-Qur’an dan Literasi (2013) ini mengingatkan pentingnya membangun sikap adaptif dalam menyambut setiap perubahan zaman.
“Dalam istilah Jawa; ojo gumunan, ojo kagetan. Jangan gampang heran, jangan gampang terkejut,” kata peneliti sejarah ini.

Kali ini, PSK Halal digelar tak di lokasi seperti biasanya di Teras Budaya Profesor Mudjahirin Thohir, Kampung Sabranglor Timur, Desa Kutoharjo, Kecamatan Kaliwungu.
Presiden PSK Bahrul Ulum mengungkapkan, pergeseran tempat perhelatan ini merupakan buah kesepakatan dengan pihak Ponpes Al Cholil Kaliwungu, sekaligus untuk mendukung kehadiran ponpes yang baru saja melaksanakan peletakan batu pertama, Rabu (18/5/2022) lalu ini.

Namun, Pengasuh Ponpes Al Cholil Kaliwungu Ali Nahdhodin yang juga dikenal dengan nama Dhody Romeo tegas menampik jika gelaran PSK Halal terkait dengan publikasi keberadaan ponpesnya.
“Tidak ada promosi itu. Saya sudah lama bergaul dengan teman-teman PSK. Karena bagi saya pribadi, tanpa berliterasi saya tak akan pernah bisa ngaji, tanpa bersastra saya tidak bisa mengenal beragam karakter manusia, agama saya, siapa Tuhan saya. Itu yang terpenting,” ungkapnya.

Selain Tiyo Ardianto dan Ali Romdhoni, PSK Halal juga menghadirkan narasumber Ibnu Fikri. Antropolog sekaligus pengamat budaya asal Kota Santri Kaliwungu ini membidik literasi dari sisi antropologi kebudayaan masyarakat Indonesia, terutama di Jawa.
Tak hanya diskusi yang dimoderatori Lukluk Atsmara Anjaina, sebagaimana tajuk acaranya, PSK Halal dimeriahkan pula dengan baca puisi, akustikan, shalawatan bareng Zahir Mania Kendal, dan jabat tangan ala halal bihalal di pengujung acara.

Para penyair yang tampil baca puisi, di antaranya Cipto Roso, Lukni Maulana, Basa Al Kalam, Slamet Priyatin, Gus Tinoeng, dan Misbahul Munir.***
Juosss mantap, lanjutkan