“Melalui Cipto Roso, saya berharap Kota Santri Kaliwungu akan semakin banyak melahirkan penulis, sastrawan, dan seniman-seniman yang bisa dikenal tidak hanya di Jawa Tengah, tapi juga secara nasional bahkan internasional,” tegas Gus Tommy.

REPORTER/EDITOR: Dwi Roma | KENDAL | obyektif.id
SANTRI berpuisi. Seperti apa puisi-puisi rasa santri atau yang terlahir dari lingkungan pesantren? Cipto Roso, seorang santri muda yang berhasil menerbitkan sekaligus dua buah buku antologi puisi, Ruang Senja dan Sejati Manusia bisa jadi bakal menjawab kepenasaranan itu.
Dua buku karya Kang Cipto, sapaan karib Cipto Roso itu dibedah tuntas di acara gelaran Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK), NgopiSastra #21 di Teras Budaya Profesor Mudjahirin Thohir, Kampung Sabranglor, Desa Kutoharjo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Sabtu (18/12/2021) malam.

Selain sang penulis, Cipto Roso, Peluncuran dan Diskusi Buku Ruang Senja ini juga menghadirkan Muhammad Tommy Fadlurohman alias Gus Tommy, anggota Komisi A DPRD Kabupaten Kendal penulis buku Kaliwungu Buminya Para Kiai.
Sembari menuturkan pengalamannya seputar proses saat menulis buku Kaliwungu Buminya Para Kiai, 2015 lalu, Gus Tommy menyatakan dukungannya terhadap karya-karya kreatif Kang Cipto, yang tak lain merupakan salah satu murid di Pencak Silat Asli Kendal Lembaga Beladiri Indonesia (LBI) Harimau Putih yang dipimpinnya.

Kepada Kang Cipto, Gus Tommy juga berpesan agar terus melanjutkan proses kreatifnya dan terus berkarya.
“Melalui Cipto Roso, saya berharap Kota Santri Kaliwungu akan semakin banyak melahirkan penulis, sastrawan, dan seniman-seniman yang bisa dikenal tidak hanya di Jawa Tengah, tapi juga secara nasional bahkan internasional,” tegas Gus Tommy.

Kelahiran Kendal, 10 Juni 1998, Cipto Roso saat ini masih tercatat sebagai santri di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Miftahul Huda, Sawahjati, Kaliwungu.
Proses kreatifnya dalam menulis puisi terinspirasi dari Abah Tommy, panggilan hormatnya pada Gus Tommy, sebagai guru besar Pencak Silat Asli Kendal LBI Harimau Putih yang diikutinya sepanjang 2015-2017. Di perguruan pencak silat ini, Cipto kini menyandang sabuk putih atau berstatus pelatih.

Meski mengaku masih “culun” dalam dunia sastra, khususnya puisi, Kang Cipto bertekad untuk bisa terus berkarya sebagaimana pesan Abah Tommy.
“Saya akan terus belajar, terus menulis puisi, dan lebih baik lagi. Ini saya masih ada kumpulan puisi-puisi sedari 2018 hingga 2021 ini, yang insyaAllah bakal saya cetak dan terbitkan lagi,” tuturnya.

Lukluk Atsmara Anjaina, mahasiswa Sastra Indonesia Undip Semarang selaku editor sekaligus pembedah buku cukup mengapresiasi dua antologi karya Kang Cipto, utamanya Ruang Senja.
Dia menilai, proses kreatif yang dilakoni Kang Cipto dalam ruang pesantren patut diacungi jempol. Di saat santri lain menghabiskan waktu luangnya untuk istirahat, dia mampu menghasilkan puisi-puisi dalam dua buku sekaligus.

Membuka lembar demi lembar buku Ruang Senja, setidaknya, Lukluk mencatat ada zonasi waktu dan jalan sunyi “mengibadahi” puisi ala Kang Cipto.
“Jika banyak orang seperti Kang Cipto dalam dunia pesantren, yang sebenarnya sudah sarat dan dekat dengan syair dan sajak-sajak dalam nadhom-nya, maka akan terbentuk ekosistem sastra di dunia pesantren,” ungkapnya.

Dua buku antologi karya Cipto Roso, Ruang Senja dan Sejati Manusia diterbitkan oleh Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK).
Diawali pembacaan puisi oleh seorang santri, Peluncuran dan Diskusi Buku Ruang Senja juga diisi penampilan Musikalisasi Puisi Pipin & Friends.

Selepas dibuka dan ditutup Presiden PSK Bahrul Ulum A Malik selaku pembawa acara, seluruh rangkaian gawe NgopiSastra #21 ini masih dipungkas-genapi dengan sajian geguritan sunyi ala Arif Suprayogi berjudul Calon Bapak, yang beraksi sembari memainkan biola, saat hampir semua pemerhati sudah pergi dan sebagian lampu mulai mati. Benar-benar sunyi.***