KH Sholahuddin Humaidullah menegaskan, yang terpenting dari acara haul adalah ibrah atau pelajaran yang bisa dipetik, yang dalam dunia pesantren disebut khalafah ilmu atau awam menyebut ngalap berkah.

REPORTER: Arif Suprayogi | EDITOR: Dwi Roma | KENDAL | obyektif.id
MENGENANG dan meneladani semangat perjuangan kiai dan ulama leluhur dalam menyebarkan ajaran Islam merupakan sebagian dari begitu banyak makna dan hikmah yang bisa dipetik dari acara haul atau peringatan hari wafat tokoh-tokoh agama tersebut.
Demikian pesan yang disampaikan Kiai Haji (KH) Sholahuddin Humaidullah, pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) APIK Kaliwungu usai memimpin tahlil dan doa di acara Haul Almarhumin KH Ahmad Ru’yat, Mbah Wali Musyafak, dan kiai-kiai leluhur Kota Santri Kaliwungu di maqbaroh atau Komplek Makam Waliku, Bukit Jabal, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Ahad (14/11/2021) pagi.

Serempak dalam waktu hampir bersamaan, haul juga digelar di Masjid Besar Al Muttaqin Kaliwungu.
KH Sholahuddin Humaidullah menegaskan, yang terpenting dari acara haul adalah ibrah atau pelajaran yang bisa dipetik, yang dalam dunia pesantren disebut khalafah ilmu atau awam menyebut ngalap berkah.

Demi mendapatkan ibrah dan berkah sebagaimana pesan Sholahuddin, haul di Komplek Makam Waliku, Bukit Jabal terbukti dipadati ratusan masyarakat atau jemaah dari berbagai kota seputar Kendal, terutama kalangan santri dan alumni Ponpes APIK Kaliwungu.
Sedari selepas subuh, sekira pukul 05.00, jemaah terlihat takzim dan khidmat mengikuti seluruh rangkaian acara haul, yang diawali pembacaan Diba’, Yasin, tahlil, kemudian sambutan dan acara inti manqobah atau historiografi dari Mbah Ru’yat atau KHAhmad Ru’yat dan karibnya, Mbah Wali Musyafak, yang disampaikan oleh KHSholahuddin Humaidullah.

Bahkan, jemaah bergeming di bawah rintik hujan. Mereka tak beranjak meninggalkan tempat duduk bersilanya di seputar area makam, hingga acara tuntas sekira pukul 09.00.
Usai haul di Komplek Makam Waliku, Bukit Jabal, sebagian besar jemaah melanjutkan mengikuti gelaran haul di Masjid Besar Al Muttaqin. Termasuk KH Sholahuddin Humaidullah, yang hadir menyusul di antara ulama-ulama lain: KH Ali Muchtar, KH Ishomuddin Sahid, KH Muhajirin Al Jupri, KH Fadlullah Turmudzi, Kiai Ubaidillah, Ketua Yayasan Al Muttaqin KH Najib Fauzan, mantan Bupati Kendal KH Mustamsikin, hingga kiai sepuh KH Muhibuddin Mahfudz.

Hadir pula di antara mereka, Kepala Desa (Kades) Krajankulon Abdul Latif dan Kades Kutoharjo Ivan Styawan.
Di bawah Koordinator Panitia Haul Mujahidin dan pembawa acara Ustaz Lukman Hakim, acara haul kali ini tetap berlangsung khidmat dan lancar berkat dukungan Ikatan Remaja Masjid Al Muttaqin Kaliwungu (Irmaka).

Haul Almarhumin KH Ahmad Ru’yat, Mbah Wali Musyafak, dan kiai-kiai leluhur Kota Santri Kaliwungu digelar saban tanggal 9 Rabiul Akhir dalam penanggalan Hijriah.
Haul digelar di komplek Makam Waliku, Bukit Jabal dan Masjid Besar Al-Muttaqin, untuk memperingati hari wafat KH Ahmad Ru’yat, pengasuh kedua Ponpes APIK Kaliwungu.

Selain Mbah Ahmad Ru’yat, haul juga untuk mendoakan Wali Musyafak dan para masyayih, para kiai leluhur Kaliwungu.
KH Mustamsikin, ulama yang juga Wakil Bupati Kendal (2010-2015) meyakini, meski dihelat sederhana tidak seperti tahun-tahun sebelumnya –yang selalu melibatkan partisipasi warga sekitar dalam penyediaan konsumsi bagi jemaah— karena masih dalam bayang-bayang pandemi Covid-19, haul kali ini pun tetap banyak menebarkan berkah, khususnya bagi masyarakat Kota Santri Kaliwungu.

Siapakah KH Ahmad Ru’yat? Ahmad Ru’yat lahir pada 1305 Hijriah atau 1885 Masehi di Kampung Pungkuran, Desa Kutoharjo, Kaliwungu. Ayahnya bernama Abdullah bin Musa. Jadi, dia merupakan keponakan dari KH Irfan bin Musa (pendiri Ponpes APIK).
Ibunda Ahmad Ruiyat bernama Sujatmi. Masa kecil Ahmad Ru’yat dihabiskan dengan mengaji Alquran kepada KH Abdul Karim di Kampung Petekan, Desa Krajankulon, Kaliwungu. Kiai Abdul Karim ini sewaktu nyantri di Mekkah bareng KH Kholil Bangkalan, KH Anwar Batang, KH Nawani Banten.

Selain itu, Ahmad Ru’yat juga mengaji Kitab Tashrifan dan Jurumiyah kepada seorang waliyullah bernama Kiai Barmawi di belakang Pondok Kauman.
Kemudian, Ahmad Ru’yat melanjutkan ngaji Kitab Hasiyah al Bajuri Ala Fathil Qorib kepada pendiri Pesantren Petekan, yang juga merupakan anak dari guru Alqurannya dulu, yakni Al-Mukarrom Kiai Ahmad bin Al-Allamah Kiai Abdul Karim bin Rifa’i.

Ahmad Ru’yat juga mengaji sejumlah kitab ilmu syariah dan perangkatnya seperti Fathul Wahhab, Qotrun Nada, dan Taqribul Ushul kepada pamannya sendiri, yakni Kiai Irfan bin Musa. Selanjutnya dia meneruskan mengaji (mondok) di luar Kaliwungu kepada Romo Kiai Idris, Jemsaren, Solo selama sekira 12 tahun (1908-1920 Masehi).
Sepulang dari mondok, Ahmad Ru’yat menikah dan merintis usaha. Mulai dari bekerja di perusahan batik pamannya, bertani, hingga jualan jamu dan kitab pernah dijalani. Namun semua profesi tersebut bukan diniatkan demi kekayaan materi, tapi semata sebagai bekal untuk mendukung perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam.

Karena kealiman dan ke-tawadhu-annya, pada masa itu hampir semua kiai Kaliwungu ngaji kepada Kiai Ahmad Ru’yat.
Menurut penuturan KH Hafidhin Ahmaddum, Kaliwungu pada masa itu bagai universitas dan KH Ahmad Ru’yat adalah grand syaikh-nya. Tak kurang dari 31 kiai mengaji kepadanya. Padahal kiai-kiai tersebut juga punya banyak santri.

Karena ketokohannya, KH Ahmad Ru’yat juga menjadi rujukan utama bagi setiap permasalahan yang ada di Kaliwungu, baik yang terjadi di pondok pesantren atau lingkungan masyarakat.
KH Ahmad Ru’yat wafat pada malam Jumat, 9 Rabiul Akhir 1388 Hijriah atau 4 Juli 1968 Masehi, tanpa meninggalkan keturunan.

Namun, KH Ahmad Ru’yat punya ribuan keturunan atau anak spiritual alias santri, yang kini juga banyak menjadi kiai dengan santri-santrinya pula, yang bakal terus mendoakannya, menghadiri haul-nya bersama para masyayih Kaliwungu saban 9 Rabiul Akhir.***