Dandim 0715 Kendal Letkol Inf Iman Widhiarto menyebut, para pahlawan tidak butuh dikenal di dunia, namun mereka akan sangat terkenal di akhirat.

REPORTER/EDITOR: Dwi Roma | KENDAL | obyektif.id
TEPAT di Hari Pahlawan, Dandim 0715 Kendal Letkol Inf Iman Widhiarto meresmikan pemugaran Makam Pahlawan Hizbullah di Desa Krajankulon, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Rabu (10/11/2021).
Di makam ini setidaknya terbaring tiga jasad ulama penyebar ajaran agama Islam sekaligus anggota Laskar Hizbullah yang ikut berjuang memerdekakan Indonesia. Tepatnya saat tentara Belanda melancarkan serangan pada Agresi Militer Belanda I pasca-Kemerdekaan RI.

Ketiga syuhada di bawah pimpinan Kiai Ibrohim Abdussalam itu adalah Ahmad Nur bin Kiai Mimbar, Masrur bin Kiai Ibrohim Abdussalam, dan Subchi bin Kiai Misbah.
Makam Kiai Ibrohim Abdussalam sendiri berada terpisah, beberapa jengkal di sisi barat makam mereka.

Peresmian juga dihadiri Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kendal KHAsro’i Thohir, Camat Kaliwungu Nung Tubeno, Forkopimcam Kaliwungu, Ketua Pimpinan Anak Cabang (PAC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kaliwungu Ali Nuruddin, Kepala Desa (Kades) Krajankulon Abdul Latif, Kades Kutoharjo Ivan Styawan, serta perwakilan keluarga pahlawan Hizbullah, KH Sholahudin Khumaidullah.

Dandim Iman Widhiarto mengaku terharu dengan sikap pahlawan Hizbullah. Sebab, mereka sama sekali tidak pernah ingin dikenang atau diberikan imbalan. Bahkan mereka belum sempat menikmati kemerdekaan, tapi sudah wafat di medan perang.

Ketulusan dan keikhlasan mereka saat berjuang melawan penjajah, telah membawa seluruh rakyat Indonesia bisa menikmati kemerdekaan seperti saat ini.
Dandim meyakini, pejuang Laskar Hizbullah tidak hanya pejuang semata. Mereka juga dikenal sebagai ulama. Malah pihak keluarga menolak penghargaan dari negara. Bahkan menolak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tapi lebih memilih di pemakaman umum.

Menyampaikan historiografi ketiga pejuang Hizbullah itu, Ketua MUI Kendal KHAsro’i Thohir mengatakan, selain pahlawan, semasa hidupnya, Masrur, Akhmad Nur, dan Subchi juga seorang ulama.
Mereka bertiga waktu itu juga mengajarkan ilmu agama kepada para santri juga masyarakat di Kota Santri, Kaliwungu dan seputar Kabupaten Kendal.

Pemugaran Makam Pahlawan Hizbullah diprakarsai oleh PAC GP Ansor Kaliwungu bersama Pemerintah Desa (Pemdes) Krajankulon, atas persetujuan pihak keluarga besar pahlawan Hizbullah.
Ketua PAC GP Ansor Kaliwungu Ali Nuruddin menyebut, pemugaran dilakukan karena kondisi makam pejuang kemerdekaan RI kondisinya sudah memprihatinkan. Terakhir dipugar pada 1981, jadi sekarang usianya sudah 40 tahun. Banyak dinding yang sudah retak.

Kades Krajankulon Abdul Latif mengungkapkan, pemugaran ini merupakan swadaya dari masyarakat, keluarga besar, dan PAC Ansor Kaliwungu, sebagai bentuk penghormatan kepada tokoh pahlawan yang sudah berjuang mengusir penjajah.
Selain itu, juga untuk memberikan edukasi sekaligus syiar kepada masyarakat, terutama generasi muda bahwa di Kaliwungu ada ulama yang ikut berjuang untuk Kemerdekaan RI.

Keterikatan emosional yang kuat juga dirasakan masyarakat Desa Kutoharjo, desa tetangga sisi timur Krajankulon, tempat tiga makam pahlawan Hizbullah berada.
Kades Kutoharjo Ivan Styawan menyampaikan apresiasi dan dukungannya, untuk ikut menindaklanjuti nilai-nilai perjuangan tiga syuhada itu bersama warga, terutama generasi mudanya.

Sejalan, Ketua GP Ansor Desa Krajankulon Abdullah Mubarok bin Muslichun bin Haji Chaludz bin KH Ibrohim bin Abdussalam, sebagai pemilik garis keturunan langsung Kiai Ibrohim Abdussalam menilai perjuangan dan pengorbanan tiga syuhada leluhurnya tersebut layak diteladani dan setidaknya mendapat legalitas pengakuan yang semestinya dari pemerintah.

Kiai Ibrohim Abdussalam adalah Komandan Laskar Hizbullah di Kecamatan Kaliwungu, yang namanya tak ingin dicatat dalam administrasi negara. Dia merasa bahwa perjuangan yang telah ia lakukan adalah bentuk kewajiban bagi setiap warga negara.
Bahkan suatu hari, Sumitro Joyohadikusumo (ayah Prabowo Subianto), salah seorang menteri era Sukarno pernah meminta agar ketiga jenazah pemuda itu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang. Namun Kiai Ibrohim menolak dengan halus, agar mereka tetap di pemakaman umum Krajankulon.

Penolakan ini tentu sangat beralasan. Sebab, makam ketiga syuhada itu bukan hanya menjadi simbol perjuangan kaum santri di Kaliwungu yang akan selalu dikenang dan didoakan oleh masyarakat sekitar, namun juga menjadi teladan atas keberanian yang dimiliki bagi generasi berikutnya.

Kesederhanaan, kedermawanan, dan kewibawaan lekat menjadi identitas dirinya sebagai kiai yang patut mendapat gelar kepahlawanan. Kiai Ibrohim Abdussalam dan para pemuda pejuang itu adalah saksi betapa beratnya mempertahankan kemerdekaan negeri tercinta ini. Mereka tidak hanya mengorbankan waktu, harta dan tenaga, namun juga kucuran darah dari perjuangan mereka.***