Tradisi weh-wehan atau ketuwin dilakukan oleh para ulama penyebar agama Islam di seputar Kaliwungu, dengan tujuan untuk memperingati Hari Kelahiran Nabi Muhammad, yang terus dipertahankan hingga sekarang.
REPORTER/EDITOR: Dwi Roma | KENDAL | obyektif.id
MENYAMBUT sekaligus merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, masyarakat Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah punya tradisi unik dan khas yang disebut weh-wehan atau ketuwin. Warga berkunjung kepada tetangga ataupun kerabat, serta saling memberikan dan bertukar makanan.
Begitulah weh-wehan atau ketuwin. Hari ini, Senin (18/10/2021) adalah puncak perayaan tradisi khas ini.
Artinya, puncak weh-wehan memang dirayakan masyarakat Kaliwungu tepat sehari jelang peringatan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW atau Maulid Nabi Muhammad SAW 1443 Hijriah, yang tahun ini jatuh pada Selasa (19/10/2021).
Diikuti ibu-ibu dan anak-anak, weh-wehan rata-rata mulai digelar selepas Ashar. Ibu-ibu saling menyiapkan dan menyajikan aneka makanan di depan rumah masing-masing, layaknya orang berjualan.
Sedangkan anak-anak berkeliling membawa dan membagikan makanan-makanan itu untuk dibagikan ke tetangga, dari rumah ke rumah, dan biasanya langsung ditukar atau mendapat balasan.
Kepala Desa Krajankulon Abdul Latif menjelaskan, “Ya Karim” atau weh-wehan sudah berlangsung ratusan tahun lalu.
Tradisi ini dilakukan oleh para ulama penyebar agama Islam di seputar Kaliwungu, dengan tujuan untuk memperingati Hari Kelahiran Nabi Muhammad, yang terus dipertahankan hingga sekarang.
Di tradisi weh-wehan, “Ya Karim” adalah ucapan khas ketika seseorang mencicipi menu weh-wehan milik tetangga hasil pertukaran.
Makanan tradisional utama yang harus ada atau dihidangkan adalah sumpil. Sumpil terbuat dari beras yang dibungkus daun bambu berbentuk segitiga (seperti ketupat), yang direbus/atau dikukus. Cara memakannya dicampur dengan sambal kelapa.
Sejauh ini, geliat keramaian perayaan tradisi weh-wehan bermuara di wilayah jantung Kecamatan Kaliwungu, yaitu Desa Krajankulon dan Desa Kutoharjo.
Weh-wehan di Kampung Petekan, kampung tempat tinggal Kades Abdul Latif, kali ini terbilang istimewa, karena disambangi Muhammad Tommy Fadlurohman atau akrab disapa Gus Tommy, anggota Komisi A DPRD Kabupaten Kendal serta Camat Kaliwungu Nung Tubeno.
Gus Tommy sengaja mengajak istrinya, Aldila Marseli untuk berbaur dengan warga Kampung Petekan dan turut merasakan gempita tradisi weh-wehan. Maklum, Aldila bukan warga asli Kaliwungu.
Tak ketinggalan, Gus Tommy dan istri mencicipi sumpil, makanan khas yang tak tergantikan di tengah semakin beragamnya makanan yang disajikan dalam weh-wehan saat ini. Ada bubur, kolak, roti, makanan kemasan, aneka minuman, dan lainnya.
Memang tidak keliru, kini tradisi weh-wehan sudah diwarnai dengan aneka makanan atau jajanan-jajanan kemasan modern. Seiring Kaliwungu sebagai Kota Santri, yang juga semakin berkembang sebagai kota kuliner.
Bagi Gus Tommy, fenomena tersebut merupakan hal yang menarik, bukan hanya bagi masyarakat Kaliwungu, melainkan juga bisa menjadi aset budaya yang bisa terus dikembangkan.
Camat Kaliwungu Nung Tubeno sangat mengapresiasi tradisi weh-wehan. Bahkan, menurutnya, pemerintah daerah telah memfasilitasi potensi-potensi yang bisa dijadikan wisata unggulan, salah satunya tradisi weh-wehan ini.
Tradisi weh-wehan atau ketuwin yang agak berbeda dan unik dilakukan warga Kampung Kranggan III dan IV, RT 02/RW 03, Desa Krajankulon.
Tidak sebatas saling bertukar makanan, sebagaimana disimbolkan melalui tradisi weh-wehan, warga di Kampung Kranggan justru menggantungkan aneka jajanan atau makanan di tali-tali yang dibentangkan melintang di sepanjang jalan kampung.
Usai gelaran shalawatan dan barzanji selepas Isya, warga tua dan muda berkumpul di musala setempat langsung menyerbu dan berebut untuk “memetik” makanan-makanan yang tergantung itu.
Untuk mempersiapkan tradisi unik bagian dari weh-wehan ini, tentu dibutuhkan gotong royong dan kekompakan seluruh warga, termasuk perkumpulan Aktivitas Remaja Islam Kampung (Ariska) Kranggan III-IV.
Betapapun, tradisi weh-wehan atau ketuwin hanya bisa dijumpai di Kota Kaliwungu.
Istilah weh-wehan berasal dari kata weweh (Bahasa Jawa) yang berarti memberi. Sedangkan istilah ketuwin berdasar dari kata tuwi atau tilik (Bahasa Jawa), bermakna menengok atau berkunjung atau silaturahmi kepada tetangga, teman, kerabat, atau saudara.
Di perayaan weh-wehan atau ketuwin ini, masyarakat Kaliwungu menyiapkan berbagai makanan tradisional yang dihidangkan di depan rumah masing-masing, layaknya orang berjualan.
Warga saling berkunjung untuk memberi makanan, yang kemudian akan ditukar atau berbalas dengan makanan warga lainnya.***