“Sekali lagi, agama bukan untuk perdebatan. Agama itu menuju Allah, melalui Rasulullah, serta panduan 4 mazhab yang semuanya jelas benar,” tandas Abah Sulthon.
REPORTER/EDITOR: Dwi Roma | SEMARANG | obyektif.id
FENOMENA perselisihan yang mengatasnamakan agama, yang marak terjadi belakangan ini membuat miris KH Abah Sulthon Basyaiban, pimpinan Padepokan Ki Ageng Sendang, Semarang. Menurutnya, manusia sekarang begitu gampang membawa-bawa agama demi pembenaran kepentingan pribadi.
“Agama bukan untuk perdebatan, tapi harus dijalani. Makanya, manusia perlu mencari jatidiri. Karena manusia ciptaan Tuhan. Kawulo. Hamba Allah,” ungkapnya, teduh.
Abah Sulthon pun buru-buru menyitir Quran Surat Ad-Dzariat ayat 56: Wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun. Artinya, “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah (menyembah) kepada-Ku.”
“Itu firman atau kata Allah langsung. Sifatnya pun memerintahkan,” cetusnya, mengingatkan.
Dengan kata lain, Abah Sulthon menerangkan, manusia membawa nasibnya sendiri-sendiri. Tergantung pada amal ibadahnya masing-masing.
“Manungso kuwi kanggonan apes. Ben tentrem, manuto Gusti Allah lan Kanjeng Nabi (Manusia itu ketempatan sial. Biar hidup tenteram, ikutilah Allah dan Nabi Muhammad/Rasulullah). Itu dasar saya; mengikuti jejak Rasulullah,” tuturnya.
Berdasar prinsip hidup ke-beragama-an seperti itu, manusia bakal mendapatkan pencerahan bahwa meski Allah memerintahkan manusia untuk semata menyembah-Nya, Dia tidak membiarkan makhluk cintaan-Nya itu pontang-panting di dunia ini.
“Kata Allah, ud’uni astajib lakum. Mintalah kepada–Ku, niscaya Aku kabulkan. Jadi, manusia jangan pernah khawatir. Allah itu Mahabaik,” bebernya.
Lebih jauh, Abah Sulthon menuturkan tentang nadhoman (puisi atau pepujian) lama, “Yen wong mukmin nandur laku dadi demen, mugi Allah paring asih pangapunten.” Maknanya, “Jika orang Mukmin menanam perilaku yang baik, semoga Allah melimpahkan kasih sayang-Nya.”
Jalan Sunyi
Begitulah KH Abah Sulthon Basyaiban, pemilik nama keraton Raden Widihartono, yang lebih memilih “jalan sunyi” di tengah hiruk pikuk duniawi. Dia berupaya mengikuti jejak orang-orang beriman terdulu. Memulai menggali ilmu atau keimanan para waliyullah.
Menhacu Sunan Kalijaga, yang begitu konsisten menjaga “tongkat” atau pakem, pedoman hidup sebagai buah dari pertapaannya di sebuah sungai.
“Sekali lagi, agama bukan untuk perdebatan. Agama itu menuju Allah, melalui Rasulullah, serta pandangan 4 mazhab yang semuanya jelas benar,” tandas Abah Sulthon.
Empat mazhab atau pandangan imam yang dimaksud adalah Mazhab Imam Hanafi, Mazhab Imam Maliki, Mazhab Imam Syafi’i, serta Mazhab Imam Hambali.
Sungguh, membangun tempat belajar agama dengan nama padepokan, 2001 silam, bukanlah perkara gampang bagi Abah Sulthon.
Diawali dengan bertapa selama lebih kurang lima tahun, di titik yang kini berdiri Padepokan Ki Ageng Sendang, Abah Sulthon “disambangi” seberkas sinar biru sebagai petunjuk yang menjadi titik persujudan. Titik pertama itu adalah Masjid Tua Mbah Abdullah Sajad, salah satu murid KH Sholeh Darat.
Dari situlah, dengan tekat bulat, 2007 silam, pembangunan Padepokan Ki Ageng Sendang dimulai.
Perihal nama Padepokan Ki Ageng Sendang, boleh jadi karena berada di Jalan KH Abdullah Sajad RT 02/RW 01, Kelurahan Sendangguwo, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang.
Padahal, sebenarnya ada nama lain dari Padepokan Ki Ageng Sendang, yaitu Pondok Pesantren Al Machasin.
“Jujur, saya bukan orang pondokan (pesantren). Jadi saya sengaja kaburkan tempat ini dengan nama padepokan,” ujar Abah Sulthon, yang masih keturunan Sayyid Abdurrohman Basyaiban dan merupakan mantu buyut KH Maulana Maghribi, dari nasab Umi Atiqoh, istrinya.
Kini, Padepokan Ki Ageng Sendang (Pondok Pesantren Al Machasin) semakin dikenal dan jadi rujukan masyarakat dalam urusan keagamaan. Eksistensinya semakin terbukti lewat Majelis Taklim Jamaah Tawajuhan Zikir Asmaul Husna, yang rutin digelar saban Ahad malam Senin, pukul 20.00-21.30, dengan jamaah yang terus bertambah dari waktu ke waktu.***