Suami Di-PHK, Asmanah Jualan Sarang Laba-laba

“Semua jajanan itu, saya jual rata-rata Rp 1.000. Alhamdulillah, sithik-sithik ono hasile. Meski nggak banyak, untungnya bisa buat nambah-nambah biaya hidup dan kebutuhan sehari-hari sekeluarga,” ungkap Asmanah.
Asmanah melayani anak-anak santri dengan sepenuh hati.

REPORTER/EDITOR: Dwi Roma | KENDAL | obyektif.id      

DAMPAK pandemi Covid-19 bisa menyasar siapa saja. Asmanah salah satunya. Ngadiman, suaminya jadi korban PHK. Meski dua puluh lima tahun menjadi karyawan di PT Ria Sarana Putra Jaya, sebuah pabrik besi di Semarang, dia tak mendapat apa-apa.

Asmanah pun harus putar otak dan kerja keras demi menghidupi keluarga.

Asmanah begitu menghayati peran kehidupannya.

Sejak sang suami dirumahkan tanpa pesangon, Juli 2020 lalu, Asmanah harus rela sebagian besar waktunya tersita. Sedari subuh hingga tengah hari, dia bekerja di sebuah angkringan di Pasar Srogo (Sidorejo), Kecamatan Brangsong. Saban hari, dia mengantongi upah Rp 50 ribu.

Sepulang dari angkringan, Asmanah tak sertamerta bisa ngaso. Wanita ramah kelahiran Kendal, 4 Februari 1974 ini harus langsung menyiapkan lapak dagangannya. Jualan aneka jajanan atau makanan anak-anak di samping TPQ Baitussyakirin di Dukuh Ngrau, Desa Tunggulsari, Kecamatan Brangsong, Kabupaten Kendal.

Asmanah dan Meiriela Astriani Nastiti Dewi, sang putri kompak bahu-membahu melayani pembeli.

“Saya buka lapak ini pas sehabis Ashar, saat anak-anak santri berangkat,” ujar Asmanah, yang selalu didampingi putri sulungnya, Meiriela Astriani Nastiti Dewi (19) saat berjualan.

Anak gadisnya itu lulusan SMA NU Brangsong (2018). Dia membantu sang ibu jualan, karena belum punya pekerjaan tetap. Sedangkan adiknya, Deyyen Oqi Habsi Asril Irsyadi (10) masih duduk di bangku kelas lima SD.

Terbiasa Bekerja

Sudah delapan tahun Asmanah menggelar lapak jajanannya, di samping TPQ Baitussyakirin. Jadi bukan semata setelah suami di-PHK.

Tegar dan sabar melayani pembeli.

Asmanah mengaku, sedari lajang memang sudah terbiasa bekerja. Dia pernah sekitar lima tahun menjadi karyawati di pabrik plastik Indoplast Semarang, 1982-1997.

Pabrik tutup, Asmanah “terpaksa” kembali ngramban alias merumput. Mencari rerumputan atau dedaunan untuk pakan ternak, yang memang sudah biasa dilakoni sedari lajang.

Asmanah dan Meiriela Astriani Nastiti Dewi (kiri), putrinya yang setia menemani menjemput rezeki.

Begitu ada peluang baru, dia tak ragu-ragu kalaupun harus merantau kerja di Bandung, Jakarta, dan Semarang. Bahkan terakhir menjadi TKI di Malaysia, bertahan selama tiga tahun, sebelum akhirnya kembali ke kampung halaman (2008).

Harus Kreatif

Sepanjang delapan tahun buka lapak jualan, Asmanah dituntut harus selalu kreatif. Mengikuti tren jajanan untuk jualannya.

Saat ini, setidaknya dia update dengan sajian jajanan papeda dan sarang laba-laba. Melengkapi jajanan-jajanan macam sosis telur (sostel), martabak mi, telur gulung, tahu petis, dan tela-tela.

Asmanah dan sang putri, Meiriela Astriani Nastiti Dewi (duduk) di lapak jualannya yang berpayung pelangi.

Resep papeda dia dapat dari keponakannya. Sedangkan sarang laba-laba hasil mengintip resep dari Youtube.

“Semua jajanan itu, saya jual rata-rata Rp 1.000. Alhamdulillah, sithik-sithik ono hasile. Meski nggak banyak, untungnya bisa buat nambah-nambah biaya hidup dan kebutuhan sehari-hari sekeluarga,” ungkap Asmanah, yang dikaruniai dua buah hati dari pernikahannya dengan Ngadiman, 1999 silam.

Lapak jualan Asmanah yang “nempel” di samping TPQ Baitussyakirin.

Sehari, Asmanah mengaku bisa mengantongi hasil kotor Rp 50 ribu. Keuntungannya, antara Rp 15.000-Rp 25 ribu.

“Semua saya lakoni dengan ikhlas. Pokoknya, semua selalu saya syukuri,” tutur wanita yang tinggal di RT 2/RW 3 Dukuh Ngrau, Desa Tunggulsari, Kecamatan Brangsong, tak jauh dari tempatnya mencari nafkah.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *