Masyarakat Kaliwungu Rayakan Puncak Weh-wehan

“Jadi weh-wehan atau ketuwinan artinya memberi atau berkunjung atau bersilaturahim kepada tetangga, teman, kerabat, atau saudara,” ujar wong asli Kalwungu yang tinggal di Kampung Pandean Bonsari, Desa Krajankulon ini.
Bersukacita saling silaturahim dan bertukar jajanan weh-wehan. || KLIK gambar untuk menonton VIDEO-nya!

REPORTER: Nihayatussyifa Yulina Vela & Disyacitta N Pratidnia | EDITOR: Dwi Roma | KENDAL | obyektif.id

MENYAMBUT sekaligus merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, masyarakat Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah punya tradisi unik dan khas yang disebut weh-wehan atau ketuwinan. Mereka berkunjung kepada tetangga ataupun kerabat, serta saling bertukar dan memberikan makanan.

Begitulah weh-wehan atau ketuwinan. Hari ini, Rabu (28/10/2020) adalah puncak perayaan tradisi khas ini.

Artinya, puncak weh-wehan memang dirayakan masyarakat Kaliwungu tepat sehari jelang peringatan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW atau Maulid Nabi Muhammad SAW 1442 Hijriyah, yang tahun ini jatuh pada Kamis (29/10/2020).

Diikuti ibu-ibu dan anak-anak, wehwehan rata-rata mulai digelar selepas Ashar. Ibu-ibu saling menyiapkan dan menyajikan aneka makanan di depan rumah masing-masing.

Ibu-ibu saling silaturahim dan bertukar jajanan weh-wehan. || KLIK gambar untuk menonton VIDEO-nya!

Sedangkan anak-anak berkeliling membawa dan membagikan makanan-makanan itu untuk dibagikan ke tetangga, dari rumah ke rumah, dan biasanya langsung ditukar atau mendapat balasan.

Ketua Takmir Musholla Baitul Muttaqin Muhammad Subkhan menjelaskan, Ya Karim atau weh-wehan sudah berlangsung ratusan tahun lalu. Tradisi itu dilakukan oleh para ulama penyebar agama Islam di Kaliwungu sekitarnya, dengan tujuan untuk memperingati Hari Kelahiran Nabi Muhammad.

Ya Karim

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa ketika Rasulullah SAW sedang bertawaf di Kabah, beliau mendengar seseorang di hadapannya bertawaf, sambil berzikir: “Ya Karim! Ya Karim!”.

Rasulullah SAW pun menirunya mengucap “Ya Karim! Ya Karim!”

“Tradisi itu terus dipertahankan sampai sekarang,” kata Subkhan, warga Kampung Plumbungan yang kini mengurus Musholla Baitul Muttaqin dan tinggal di Jalan Mutiara Raya RT 02/RW 12, Desa Krajankulon.

Aneka jajanan kemasan modern kini juga mendominasi weh-wehan. || KLIK gambar untuk menonton VIDEO-nya!

Fattah MS, penggiat seni budaya religi mengungkapkan, tradisi weh-wehan atau ketuwinan hanya dapat dijumpai di Kota Kaliwungu. Istilah weh-wehan berasal dari kata weweh (Bahasa Jawa) yang berarti memberi. Sedangkan istilah ketuwinan berdasar dari kata tuwi atau tilik (Bahasa Jawa), artinya menengok atau berkunjung atau silaturahmi.

“Jadi weh-wehan atau ketuwinan artinya memberi atau berkunjung atau bersilaturahim kepada tetangga, teman, kerabat, atau saudara,” ujar wong asli Kalwungu yang tinggal di Kampung Pandean Bonsari, Desa Krajankulon ini.

Anak-anak bersukacita mengantarkan aneka jajanan weh-wehan ke tetangga. || KLIK gambar untuk menonton VIDEO-nya!

Menurut Fattah, di perayaan weh-wehan atau ketuwinan ini, masyarakat Kaliwungu menyiapkan berbagai makanan tradisional yang dihidangkan di depan rumah masing-masing. Mereka seperti berjualan.

“Tetangga yang berkunjung untuk memberi makanan, akan ditukar atau diganti, atau dibalas dengan makanan miliknya,” beber Fattah.

Di tradisi weh-wehan, “Ya Karim” adalah ucapan khas ketika seseorang ingin mencicipi menu weh-wehan milik tetangga tanpa membawa makanan apa pun untuk ditukar.

Sumpil Daun Bambu

Makanan tradisional yang dihidangkan adalah sumpil. Sumpil terbuat dari beras yang dibungkus daun bambu berbentuk segitiga (seperti ketupat), yang direbus/atau dikukus. Cara memakannya dicampur dengan sambal kelapa.

Sumpil, jajanan khas weh-wehan. || KLIK gambar untuk menonton VIDEO-nya!

“Tapi sekarang, makanannya sudah tidak hanya sumpil, tapi juga ada bubur, kolak, roti, snack, dan lainnya,” ujar Nur ‘Aini, warga Kampung Gedangan RT 01/RW 05, Desa Sumberejo, Kecamatan Kaliwungu.

Meski berada di pinggiran timur Kaliwungu, apa yang diungkapkan Nur ’Aini memang tak keliru. Sekarang tradisi weh-wehan sudah diwarnai dengan aneka makanan atau jajanan-jajanan kemasan modern.

“Ibu-ibu sekarang pengin cari praktisnya saja. Terpenting adalah menjaga dan melestarikan tradisinya,” tutur Nenny Krismiati, ketua PKK 02/RW 12 Desa Krajankulon.

Teng-tengan

Muhammad, seorang Perangkat Desa Krajankulon mengungkapkan, tradisi weh-wehan atau ketuwinan sudah ada sejak dia kecil. Selain tradisi weh-wehan, ada pula teng-tengan.

Teng-tengan model bintang, || KLIK gambar untuk menonton VIDEO-nya!

Teng-tengan adalah semacam lampion, terbuat dari bilah bambu dan kertas yang di dalamnya ada lampu dari minyak,” kata tokoh Kaliwungu yang peduli tradisi dan kearifan lokal ini.

Teng-tengan model kapal. || KLIK gambar untuk menonton VIDEO-nya!

Pada awalnya, menurut Muhammad, bentuk lampion masih terbatas pada bentuk pesawat, kapal, ataupun bintang. Namun seiring berjalannya waktu, kreativitas pun berkembang.

“Tak hanya modelnya yang kian beragam, di dalam lampion juga tidak lagi lampu dari minyak, tapi sudah berganti nyala lampu listrik,” beber Muhammad, yang memasang teng-tengan model bintang dan kapal di rumahnya, di Kampung Jambetsari RT 01/RW 01, Desa Krajankulon.

Aneka teng-tengan model bintang menghiasi rumah Muhammad. || KLIK gambar untuk menonton VIDEO-nya!

Lampion biasa dipasang di depan rumah di Bulan Maulid ini. Namun untuk yang suka kepraktisan, biasanya teng-tengan ini diganti dengan lampu hias listrik warna-warni.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *