KARENA sangat berbahaya, limbah medis Covid-19 harus dikelola secara khusus. Padahal, belum semua rumah sakit memunyai insinerator yang sesuai standar, sehingga harus dikirim ke instalasi pengolahan limbah.
GUBERNUR Ganjar Pranowo menginstruksikan kepada rumah sakit rujukan di Jawa Tengah agar memperhatikan pengelolaan limbah medis dari penanganan pasien terinfeksi virus Corona jenis baru (Covid-19).
“Seluruh rumah sakit rujukan harus melakukan pengawasan secara khusus, terlebih setiap hari ada penambahan pasien yang berimbas langsung pada kuantitas limbah, maka harus hati-hati,” katanya di Semarang, belum lama ini.
Ganjar mengungkapkan, hingga saat ini belum ada kendala berarti terkait limbah medis di Jateng, selama penanganan Covid-19. Hal ini berarti semua limbah masih terkelola dengan semestinya.
Namun, Ganjar ingin semua pihak tetap waspada, apalagi jika kondisi semakin memburuk. “Kita mendisiplinkan dan melakukan kontrol agar tidak bocor, makanya harus disiapkan betul-betul agar tidak bocor,” ujarnya.
Salah satunya, kata dia, menjaga agar tidak terjadi kebocoran dengan pemanfaatan ulang limbah-limbah medis.

Ganjar mengaku telah menerima aduan pemanfaatan limbah medis, berupa masker, di mana setelah dibuang, masker-masker yang telah digunakan itu dicuci kemudian diperjualbelikan. “Makanya saya sempat tanya ke dokter, bagaimana maskernya? Lebih baik digunting setelah digunakan, sehingga tidak bisa dipakai atau diolah dan dijual,” ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa pemanfaatan ulang limbah-limbah medis tersebut juga sangat membahayakan, terlebih jika dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki kompetensi serta didukung peralatan yang memadai.
“Karena yang mengambil berbahaya, yang mengolah dan apalagi yang memakai ulang itu berbahaya. Karena pasti pengolahannya tidak seperti di dunia kedokteran atau di rumah sakit. Di sana kan canggih, ada pembunuh kumannya, virus dengan cara dan alat-alat yang canggih,” ungkap Ganjar.
Bantu Urus Izin
Terkait hal itu, Gubernur Ganjar Pranowo berkomitmen membantu pengurusan izin pengolahan limbah medis sejumlah rumah sakit rujukan penanganan pasien Covid-19 di Jawa Tengah ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)
“Soal limbah ini menjadi perhatian serius kami, karena teman-teman rumah sakit banyak yang mengeluh izin insineratornya belum turun. Mereka protes, katanya izinnya berbelit. Makanya saya nanti bantu urus langsung ke LHK,” tegasnya.
Ganjar menyebutkan, peraturan tentang pengelolaan limbah medis Covid-19 memang berbeda, karena izin alat insinerator yang digunakan untuk membakar limbah medis harus dari Kementerian LHK dengan syarat tertentu.
“Syaratnya suhu minimum harus 800 derajat Celcius. Padahal ada 10 rumah sakit di Jateng yang insineratornya masih di bawah 800 derajat, tapi mereka bisa meningkatkan sampai 1.000 derajat. Jadi sebenarnya bisa, maka Dinkes saya minta mendata semuanya itu, dan akan kami bantu urus langsung ke Menteri LHK,” ujarnya usai menggelar rapat terbatas bersama sejumlah pengelola rumah sakit rujukan Covid-19 yang ada di Jateng.
Menurut dia, persoalan limbah medis Covid-19 bukanlah persoalan biasa, karena limbah medis itu membawa virus Covid-19 yang membahayakan masyarakat.
“Kalau tidak dikelola dengan baik, maka akan membahayakan lingkungan sekitar. Saya akan bantu rumah sakit memperoleh izin itu ke LHK. Saya harap ini bisa lebih mudah, karena Pak Presiden selalu bilang harus ada terobosan, karena kondisinya sekarang ini sedang serius,” tegasnya.
Selama ini, lanjut Ganjar, sejumlah rumah sakit yang memiliki insinerator dan sudah berizin, mengelola limbah Covid-19 secara mandiri. Namun yang belum berizin, pengelolaan limbah dipercayakan pada pihak ketiga yang menjadi “transporter” limbah tersebut.
“Bukan saya tidak percaya dengan pihak ketiga itu, tapi saya ingin ini bisa lebih cepat dan tepat penanganannya,” katanya.
Sesuai Prosedur
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Yulianto Prabowo menegaskan bahwa pengelolaan limbah medis dari beberapa rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang menangani pasien Covid-19 di Jateng sudah sesuai prosedur, sehingga aman bagi lingkungan.
“Dari faskes dikumpulkan, kemudian dibawa ke instalasi pengolahan limbah. Rumah sakit-rumah sakit (yang menangani pasien Covid-19) itu memunyai insinerator, alat untuk mengolah atau membakar limbah medis, jadi aman,” katanya.
Meski demikian, dia menyebut belum semua rumah sakit memunyai insinerator yang sesuai standar, sehingga harus dikumpulkan pada suatu kontainer khusus dan dikirim ke instalasi pengolahan limbah.
“Memang belum semua rumah sakit memunyai insinerator yang standar, bagi yang sudah punya insinerator bisa diolah sendiri, jadi aman,” ujarnya.
Limbah medis penanganan pasien Covid-19 yang diolah adalah air limbah dan limbah B3 medis padat.
Air limbah adalah semua air buangan termasuk tinja, berasal dari kegiatan penanganan pasien Covid-19 yang kemungkinan mengandung mikroorganisme khususnya virus Corona, bahan kimia beracun, darah dan cairan tubuh lain, serta cairan yang digunakan dalam kegiatan isolasi pasien, meliputi cairan dari mulut dan atau hidung atau·air kumur pasien dan air cucian alat kerja, alat makan dan minum pasien dan atau cucian linen, yang berbahaya bagi kesehatan serta bersumber dari kegiatan pasien isolasi Covid-19.
Limbah B3 medis padat adalah barang atau bahan sisa hasil kegiatan yang tidak digunakan kembali yang berpotensi terkontaminasi oleh zat yang bersifat infeksius atau kontak dengan pasien dan atau petugas di faskes yang menangani pasien Covid-19.
Barang itu meliputi masker bekas, sarung tangan bekas, perban bekas, tisu bekas, plastik bekas minuman dan makanan, kertas bekas makanan dan minuman, alat suntik bekas, set infus bekas.
Kemudian, alat pelindung diri bekas, sisa makanan pasien dan lain-lain, berasal dari kegiatan pelayanan di UGD, ruang isolasi, ruang ICU, ruang perawatan, dan ruang pelayanan lainnya.*** DNR